Senin, 14 November 2011

Islam dan Kreativitas Guru dalam Metode Pembelajaran

  Makalah tidak diterbitkan. Malang: Masjidil ‘Ilm Bani Hasyim Sekolah Islam memang menggeliat belakangan ini. Lembaga pendidikan ini tidak lagi dipandang sebelah mata, sebagai lembaga yang kolot dan ‘puritan’. Maraknya para orang tua menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Islam belakangan ini, menurut pakar pendidikan yang juga mantan Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Prof DR Hidayat Syarif merupakan fenomena yang sangat positif. ”Ini fenomena yang bagus. Dulu, sekolah sekolah ini tidak mampu bersaing,” jelas Hidayat. Menurut mantan Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Bappenas ini, sekolah-sekolah Islam selain mengutamakan mata pelajaran umum yang sesuai dengan kurikulum Diknas, juga ditambah dengan mata pelajaran agama. Lebih khusus lagi, kata Hidayat, adalah pada penanaman moral, pendidikan akhlak.
Alasan serupa dikemukakan psikolog dan pemerhati pendidikan anak, Seto Mulyadi. Menurut Kak Seto, belakangan ini banyak lembaga pendidikan Islam yang telah meningkatkan kualitasnya dengan mengadopsi beberapa model atau kurikulum dari luar negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat dan lainnya. ”Semua baik, tapi yang penting harus dilakukan dengan prinsip for the best interest of the child (demi kepentingan terbaik bagi anak), bukan bagi orang tua, guru, yayasan, dan sebagainya,” jelasnya. Penulis setuju dengan pendapat Kak Seto, sumber informasi terpenting adalah dari sisi anak. Sekolah yang baik adalah baik menurut anak bukan baik menurut iklan. Pertanyaan mendasar adalah coba anak boleh melihat, mencoba, pada saat pendaftaran itu ada suasana untuk percobaan dan sebagainya lalu tanyakan kepada anak. Menurut dia bagaimana, enak nggak di sekolah itu? Kalau dia suka silahkan didaftarkan. Orangtua jangan memilih sekolah hanya karena prestise.
Sekolah Islam sebaiknya tidak mengajarkan ajaran-ajaran Islam dalam hanya sekadar dari sudut pandang orang tua. Misalnya orang tua nanti kalau berbuat ini dosa, kalau mengerjakan ini nanti masuk sorga. Jadi, akhirnya anak jadi objek untuk ambisi orang tua. Sejak dini anak memang harus dibekali dengan pendidikan agama, namun harus melihat metode yang dipakai. ”Pengajarannya bagaimana? Jangan lembaga Islam metode pembelajarannya dengan kekerasan sehingga membuat anak malah takut dengan agama. Mereka bisa anti produktif, tapi kalau Islam diajarkan dengan bernyanyi, dongeng, boneka, kegiatan bermain di taman yang menyenangkan, gurunya ramah, itu Islam akan sangat muncul dengan efektif pada diri anak.
Metode pembelajaran merupakan kunci utama berhasilnya sebuah pendidikan. ”Ada sekolah Islam yang metodenya menyenangkan tapi tidak sedikit sekolah Islam yang metodenya kurang menyenangkan. Ini yang sangat disayangkan, akan memberikan gambaran yang keliru terhadap Islam.” Anak pra sekolah, misalnya, belum saatnya dia ditakut-takuti kalau bolos, atau malas nanti masuk neraka. Anak-anak usia begini seharusnya dikenalkan bahwa Islam itu indah, sabar, kasih sayang, dan diberikan contoh konkret,” ujarnya. Yang tak kalah pentingnya, papar Kak Seto lebih lanjut, peran orang tua dalam membimbing anak. Apalagi, seorang anak justru akan lebih lama bersama orang tuanya ketimbang guru. ”Orang tua harus menyadari bahwa pendidik yang paling utama adalah orang tuanya sendiri. Jadi, orang tua harus memainkan peranan penting terhadap pendidikan anak. Dimulai dengan keteladanan atau contoh, jangan menyuruh anak shalat tapi anak tidak shalat. Jangan menyuruh kepada anak kalau dari orang tuanya tidak ada keteladanan yang konkrit dari orang tuanya.” Yang penting, kata Kak Seto, penekanannya bukan sekadar hablumminallah tapi hablum minannaas. ”Kita memberikan kepada mereka bahwa ajaran Islam itu baik hati,” ujarnya. Di rumah, hal itu bisa ditunjukkan oleh orang tua kepada anak. Ketika setelah shalat, misalnya, orang tua mendongeng bagi anak, bukan mengomel. ”Dari situ ada asosiasi antara perilaku shalat dan kasih sayang ataupun suasana kehangatan emosional ibunya yang dirasakan sekali terhadap anak,” ujarnya.
Islam sebagai rahmatan lil alamin sudah sewajarnya menerapkan apa yang dilakukan oleh Nabi di atas. Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak, bahkan sejak masih dalam kandungan. Jika anak sejak dini telah
mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orangtua. Kekerasan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, Islam mengajarkan kasih sayang, kepada yang di luar Islam harus saling menyayangi, apalagi kepada sesama muslim, sampai-sampai dikatakan bahwa sesama muslim laksana satu tubuh, jika ada bagian yang sakit maka sakitnya akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lain.
Usia pra sekolah yang berlangsung pada usia 3-6 tahun menurut Erik H. Erickson, seorang tokoh psikoanalisis, memiliki dorongan yang kuat untuk menguasai lingkungan. Krisis yang dialami adalah autonomy vs shame/doubt. Jika dia berhasil dalam tahap berkembangan ini maka akan menjadi anak yang mandiri, namun jika gagal maka akan merasa malu dan ragu-ragu.
Tugas guru pra sekolah adalah senantiasa secara kreatif menggunakan metode pembelajaran yang sesuai untuk membuat anak-anak menjadi otonom. Apapun itu metodenya, mendongeng, bernyanyi, yang penting dilakukan dengan menyenangkan. Bagaimana kita bisa membangun kontrol diri sebagai wujud kemandirian. Seperti metode yang digunakan oleh Erik H. Erikson dalam mendidik anak-anak yaitu metode Montessori adalah metode yang menekankan perkembangan inisiatif anak melalui permainan dan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar