Makalah tidak diterbitkan. Malang: Masjidil ‘Ilm Bani Hasyim Sekolah Islam memang
menggeliat belakangan ini. Lembaga pendidikan ini tidak lagi dipandang
sebelah mata, sebagai lembaga yang kolot dan ‘puritan’. Maraknya para
orang tua menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Islam belakangan ini,
menurut pakar pendidikan yang juga mantan Sekretaris Jenderal Departemen
Pendidikan Nasional Prof DR Hidayat Syarif merupakan fenomena yang
sangat positif. ”Ini fenomena yang bagus. Dulu, sekolah sekolah ini
tidak mampu bersaing,” jelas Hidayat. Menurut mantan Deputi Sumber Daya
Manusia (SDM) Bappenas ini, sekolah-sekolah Islam selain mengutamakan
mata pelajaran umum yang sesuai dengan kurikulum Diknas, juga ditambah
dengan mata pelajaran agama. Lebih khusus lagi, kata Hidayat, adalah
pada penanaman moral, pendidikan akhlak.
Alasan serupa dikemukakan psikolog dan pemerhati pendidikan anak, Seto Mulyadi. Menurut Kak Seto,
belakangan ini banyak lembaga pendidikan Islam yang telah meningkatkan
kualitasnya dengan mengadopsi beberapa model atau kurikulum dari luar
negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat dan
lainnya. ”Semua baik, tapi yang penting harus dilakukan dengan prinsip for the best interest of the child
(demi kepentingan terbaik bagi anak), bukan bagi orang tua, guru,
yayasan, dan sebagainya,” jelasnya. Penulis setuju dengan pendapat Kak
Seto, sumber informasi terpenting adalah dari sisi anak. Sekolah yang
baik adalah baik menurut anak bukan baik menurut iklan. Pertanyaan
mendasar adalah coba anak boleh melihat, mencoba, pada saat pendaftaran
itu ada suasana untuk percobaan dan sebagainya lalu tanyakan kepada
anak. Menurut dia bagaimana, enak nggak di sekolah itu? Kalau dia suka silahkan didaftarkan. Orangtua jangan memilih sekolah hanya karena prestise.
Sekolah
Islam sebaiknya tidak mengajarkan ajaran-ajaran Islam dalam hanya
sekadar dari sudut pandang orang tua. Misalnya orang tua nanti kalau
berbuat ini dosa, kalau mengerjakan ini nanti masuk sorga. Jadi,
akhirnya anak jadi objek untuk ambisi orang tua. Sejak dini anak memang
harus dibekali dengan pendidikan agama, namun harus melihat metode yang
dipakai. ”Pengajarannya bagaimana? Jangan lembaga Islam metode
pembelajarannya dengan kekerasan sehingga membuat anak malah takut
dengan agama. Mereka bisa anti produktif, tapi kalau Islam diajarkan
dengan bernyanyi, dongeng, boneka, kegiatan bermain di taman yang
menyenangkan, gurunya ramah, itu Islam akan sangat muncul dengan efektif
pada diri anak.
Metode
pembelajaran merupakan kunci utama berhasilnya sebuah pendidikan. ”Ada
sekolah Islam yang metodenya menyenangkan tapi tidak sedikit sekolah
Islam yang metodenya kurang menyenangkan. Ini yang sangat disayangkan,
akan memberikan gambaran yang keliru terhadap Islam.” Anak
pra sekolah, misalnya, belum saatnya dia ditakut-takuti kalau bolos,
atau malas nanti masuk neraka. Anak-anak usia begini seharusnya
dikenalkan bahwa Islam itu indah, sabar, kasih sayang, dan diberikan
contoh konkret,” ujarnya. Yang tak kalah pentingnya, papar Kak Seto
lebih lanjut, peran orang tua dalam membimbing anak. Apalagi, seorang
anak justru akan lebih lama bersama orang tuanya ketimbang guru. ”Orang
tua harus menyadari bahwa pendidik yang paling utama adalah orang tuanya
sendiri. Jadi, orang tua harus memainkan peranan penting terhadap
pendidikan anak. Dimulai dengan keteladanan atau contoh, jangan menyuruh
anak shalat tapi anak tidak shalat. Jangan menyuruh kepada anak kalau
dari orang tuanya tidak ada keteladanan yang konkrit dari orang tuanya.”
Yang penting, kata Kak Seto, penekanannya bukan sekadar hablumminallah tapi hablum minannaas.
”Kita memberikan kepada mereka bahwa ajaran Islam itu baik hati,”
ujarnya. Di rumah, hal itu bisa ditunjukkan oleh orang tua kepada anak.
Ketika setelah shalat, misalnya, orang tua mendongeng bagi anak, bukan
mengomel.
”Dari situ ada asosiasi antara perilaku shalat dan kasih sayang ataupun
suasana kehangatan emosional ibunya yang dirasakan sekali terhadap
anak,” ujarnya.
Islam sebagai rahmatan lil alamin sudah sewajarnya
menerapkan apa yang dilakukan oleh Nabi di atas. Islam telah memberikan
dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak, bahkan sejak masih
dalam kandungan. Jika anak sejak dini telah
mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orangtua. Kekerasan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, Islam mengajarkan kasih sayang, kepada yang di luar Islam harus saling menyayangi, apalagi kepada sesama muslim, sampai-sampai dikatakan bahwa sesama muslim laksana satu tubuh, jika ada bagian yang sakit maka sakitnya akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lain.
mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orangtua. Kekerasan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, Islam mengajarkan kasih sayang, kepada yang di luar Islam harus saling menyayangi, apalagi kepada sesama muslim, sampai-sampai dikatakan bahwa sesama muslim laksana satu tubuh, jika ada bagian yang sakit maka sakitnya akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lain.
Usia
pra sekolah yang berlangsung pada usia 3-6 tahun menurut Erik H.
Erickson, seorang tokoh psikoanalisis, memiliki dorongan yang kuat untuk
menguasai lingkungan. Krisis yang dialami adalah autonomy vs shame/doubt.
Jika dia berhasil dalam tahap berkembangan ini maka akan menjadi anak
yang mandiri, namun jika gagal maka akan merasa malu dan ragu-ragu.
Tugas
guru pra sekolah adalah senantiasa secara kreatif menggunakan metode
pembelajaran yang sesuai untuk membuat anak-anak menjadi otonom.
Apapun itu metodenya, mendongeng, bernyanyi, yang penting dilakukan
dengan menyenangkan. Bagaimana kita bisa membangun kontrol diri sebagai
wujud kemandirian. Seperti metode yang digunakan oleh Erik H. Erikson
dalam mendidik anak-anak yaitu metode Montessori adalah metode yang
menekankan perkembangan inisiatif anak melalui permainan dan pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar