Senin, 14 November 2011

Penelitian Kualitatif

Pengertian Metode Penelitian Kualitatif
Terdapat kesalahan pemahaman di dalam masyarakat bahwa yang dinamakan sebagai kegiatan penelitian adalah penelitian yang bercorak survei. Ditambah lagi ada pemahaman lain bahwa penelitian yang benar jika menggunakan sebuah daftar pertanyaan dan datanya dianalisa dengan menggunakan teknik statistik. Pemahaman ini berkembang karena kuatnya pengaruh aliran positivistik dengan metode penelitian kuantitatif.
  1. Ada dua kelompok metode penelitian dalam ilmu sosial yakni metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Di antara kedua metode ini sering timbul perdebatan di seputar masalah metodologi penelitian. Masing-masing aliran berusaha mempertahankan kekuatan metodenya
  2. Salah satu argumen yang dikedepankan oleh metode penelitian kualitatif adalah keunikan manusia atau gejala sosial yang tidak dapat dianalisa dengan metode yang dipinjam dari ilmu eksakta.
  3. Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan penggunaan angka
  4. Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan responden.

DASAR-DASAR PENELITIAN KUALITATIF
Paradigma Metode Penelitian
Ada dua metode berfikir dalam perkembangan pengetahuan, yaitu metode deduktif yang dikembangkan oleh Aristoteles dan metode induktif yang dikembangkan oleh Francis Bacon. Metode deduktif adalah metode berfikir yang berpangkal dari hal-hal yang umum atau teori menuju pada hal-hal yang khusus atau kenyataan. Sedangkan metode induktif adalah sebaliknya. Dalam pelaksanaan, kedua metode tersebut diperlukan dalam penelitian.
Kegiatan penelitian memerlukan metode yang jelas. Dalam hal ini ada dua metode penelitian yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Pada mulanya metode kuantitatif dianggap memenuhi syarat sebagai metode penilaian yang baik, karena menggunakan alat-alat atau intrumen untuk mengakur gejala-gejala tertentu dan diolah secara statistik. Tetapi dalam perkembangannya, data yang berupa angka dan pengolahan matematis tidak dapat menerangkan kebenaran secara meyakinkan. Oleh sebab itu digunakan metode kualitatif yang dianggap mampu menerangkan gejala atau fenomena secara lengkap dan menyeluruh.
Tiap penelitian berpegang pada paradigma tertentu. Paradigma menjadi tidak dominan lagi dengan timbulnya paradigma baru. Pada mulanya orang memandang bahwa apa yang terjadi bersifat alamiah. Peneliti bersifat pasif sehingga tinggal memberi makna dari apa yang terjadi dan tanpa ingin berusaha untuk merubah. Masa ini disebut masa pra-positivisme.
Setelah itu timbul pandangan baru, yakni bahwa peneliti dapat dengan sengaja mengadakan perubahan dalam dunia sekitar dengan melakukan berbagai eksperimen, maka timbullah metode ilmiah. Masa ini disebut masa positivisme.
Pandangan positivisme dalam perkembangannya dibantah oleh pendirian baru yang disebut post-positivisme. Pendirian post-positivisme ini bertolak belakang dergan positivisme. Dapat dikatakan bahwa post-positivisme sebagai reaksi terhadap positivisme. Menurut pandangan post-positivisme, kebenaran tidak hanya satu tetapi lebih kompleks, sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu saja.
Dalam penelitian, dikenal tiga metode yang secara kronologis berurutan yakni metode pra-positivisme, positivisme, dan post-positivisme.

Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Untuk mengetahui perbedaan tersebut ada 15 ciri penelitian kualitatif yaitu:
  1. Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam kondisi yang asli atau alamiah (natural setting).
  2. Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti sebagai alat utama pengumpul data yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan wawancara
  3. Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.
  4. Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya dalam pengumpulan data sering memperhatikan hasil dan akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi.
  5. Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif. Mengutamakan data langsung atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
  6. Dalam penelitian kualitatif digunakan metode triangulasi yang dilakukan secara ekstensif baik tringulasi metode maupun triangulasi sumber data.
  7. Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.
  8. Subjek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya.
  9. Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dan segi pendiriannya.
  10. Verifikasi. Penerapan metode ini antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif.
  11. Pengambilan sampel secara purposif. Metode kualitatif menggunakan sampel yang sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian.
  12. Menggunakan “Audit trail”. Metode yang dimaksud adalah dengan mencantumkan metode pengumpulan dan analisa data.
  13. Mengadakan analisis sejak awal penelitian. Data yang diperoleh langsung dianalisa, dilanjutkan dengan pencarian data lagi dan dianalisis, demikian seterusnya sampai dianggap mencapai hasil yang memadai.
  14. Teori bersifat dari dasar. Dengan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dapat dirumuskan kesimpulan atau teori.

Dasar Teoritis Penelitian
Pada penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, menerapkan paradigma tertentu sehingga penelitian menjadi terarah. Dasar teoritis dalam pendekatan kualitatif adalah:
  1. Pendekatan fenomenologis. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
  2. Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.
  3. Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.
  4. Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.

KEDUDUKAN DAN RAGAM PARADIGMA
Kedudukan Paradigma Dalam Metode Penelitian Kualitatif
Ilmu pengetahuan merupakan suatu cabang studi yang berkaitan dengan penemuan dan pengorganisasian fakta-fakta, prinsip-prinsip, dan metoda-metoda. Dari sini dapat dipahami bahwa untuk dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan, maka cabang studi itu haruslah memiliki unsur-unsur penemuan dan pengorganisasian, yang meliputi pengorganisasian fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan, prinsip-prinsip serta metoda-metoda. Oleh Moleong prinsip-prinsip ini disebut sebagai aksioma-aksioma, yang menjadi dasar bagi para ilmuan dan peneliti di dalam mencari kebenaran melalui kegiatan penelitian.
Dasar-dasar untuk melakukan kebenaran itu biasa disebut sebagai paradigma, yang oleh Bogdan dan Biklen dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Ada berbagai macam paradigma yang mendasari kegiatan penelitian ilmu-ilmu sosial. Paradigma-paradigma yang beragam tersebut tidak terlepas dari adanya dua tradisi intelektual Logico Empiricism dan Hermeneutika.
Logico Empiricism, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu yang nyata atau faktual dan yang serba pasti. Sedangkan Hermeneutika, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu yang berada di balik sesuatu yang faktual, yang nyata atau yang terlihat.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berusaha melihat kebenaran-kebenaran atau membenarkan kebenaran, namun di dalam melihat kebenaran tersebut, tidak selalu dapat dan cukup didapat dengan melihat sesuatu yang nyata, akan tetapi kadangkala perlu pula melihat sesuatu yang bersifat tersembunyi, dan harus melacaknya lebih jauh ke balik sesuatu yang nyata tersebut.
Pilihan terhadap tradisi mana yang akan ditempuh peneliti sangat ditentukan oleh tujuan dan jenis data yang akan ditelitinya. Oleh karena itu pemahaman terhadap paradigma ilmu pengetahuan sangatlah perlu dilakukan oleh para peneliti. Bagi kegiatan penelitian, paradigma tersebut berkedudukan sebagai landasan berpijak atau fondasi dalam melakukan proses penelitian selengkapnya.

Ragam Paradigma Dalam Metode Penelitian
Dalam rangka melakukan pengumpulan fakta-fakta para ilmuwan atau peneliti terlebih dahulu akan menentukan landasan atau fondasi bagi langkah-langkah penelitiannya. Landasan atau fondasi tersebut akan dijadikan sebagai prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar maupun aksioma, yang dalam bahasanya Moleong disebut sebagai paradigma.
Menurut Bogdan dan Biklen paradigma dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Paradigma didalam ilmu pengetahuan sosial memiliki ragam yang demikian banyak, baik yang berlandaskan pada aliran pemikiran Logico Empiricism maupun Hermeneutic. Masing-masing paradigma tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu para peneliti harus mempunyai pemahaman yang cukup terhadap dasar pemikiran paradigma-paradigma yang ada sehingga sebelum melakukan kegiatan penelitiannya, para peneliti dapat memilih paradigma sebagai landasan penelitiannya secara tepat.
Menurut Meta Spencer paradigma di dalam ilmu sosial meliputi (1) perspektif evolusionisme, (2) interaksionisme simbolik, (3) model konflik, dan (4) struktural fungsional. Menurut George Ritzer paradigma di dalam ilmu sosial terdiri atas (1) fakta sosial, (2) definisi sosial, dan (3) perilaku sosial.
Perbedaan dan keragaman paradigma dan atau teori yang berkembang di dalam ilmu pengetahuan sosial, menuntut para peneliti untuk mencermatinya di dalam rangka memilih paradigma yang tepat bagi permasalahan dan tujuan penelitiannya.

PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Pengertian dan Fungsi Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan salah satu tahap di antara sejumlah tahap penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan penelitian. Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia dan bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Perumusan masalah atau research questions atau disebut juga sebagai research problem, diartikan sebagai suatu rumusan yang mempertanyakan suatu fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagai fenomena yang saling terkait di antara fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.
Mengingat demikian pentingnya kedudukan perumusan masalah di dalam kegiatan penelitian, sampai-sampai memunculkan suatu anggapan yang menyatakan bahwa kegiatan melakukan perumusan masalah, merupakan kegiatan separuh dari penelitian itu sendiri.
Perumusan masalah penelitian dapat dibedakan dalam dua sifat, meliputi perumusan masalah deskriptif, apabila tidak menghubungkan antar fenomena, dan perumusan masalah eksplanatoris, apabila rumusannya menunjukkan adanya hubungan atau pengaruh antara dua atau lebih fenomena.
Perumusan masalah memiliki fungsi sebagai berikut yaitu Fungsi pertama adalah sebagai pendorong suatu kegiatan penelitian menjadi diadakan atau dengan kata lain berfungsi sebagai penyebab kegiatan penelitian itu menjadi ada dan dapat dilakukan. Fungsi kedua, adalah sebagai pedoman, penentu arah atau fokus dari suatu penelitian. Perumusan masalah ini tidak berharga mati, akan tetapi dapat berkembang dan berubah setelah peneliti sampai di lapangan. Fungsi ketiga dari perumusan masalah, adalah sebagai penentu jenis data macam apa yang perlu dan harus dikumpulkan oleh peneliti, serta jenis data apa yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti. Keputusan memilih data mana yang perlu dan data mana yang tidak perlu dapat dilakukan peneliti, karena melalui perumusan masalah peneliti menjadi tahu mengenai data yang bagaimana yang relevan dan data yang bagaimana yang tidak relevan bagi kegiatan penelitiannya. Sedangkan fungsi keempat dari suatu perumusan masalah adalah dengan adanya perumusan masalah penelitian, maka para peneliti menjadi dapat dipermudah di dalam menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel penelitian.
Kriteria-kriteria Perumusan Masalah
Ada setidak-tidaknya tiga kriteria yang diharapkan dapat dipenuhi dalam perumusan masalah penelitian yaitu kriteria pertama dari suatu perumusan masalah adalah berwujud kalimat tanya atau yang bersifat kalimat interogatif, baik pertanyaan yang memerlukan jawaban deskriptif, maupun pertanyaan yang memerlukan jawaban eksplanatoris, yaitu yang menghubungkan dua atau lebih fenomena atau gejala di dalam kehidupan manusaia.
Kriteria Kedua dari suatu masalah penelitian adalah bermanfaat atau berhubungan dengan upaya pembentukan dan perkembangan teori, dalam arti pemecahannya secara jelas, diharapkan akan dapat memberikan sumbangan teoritik yang berarti, baik sebagai pencipta teori-teori baru maupun sebagai pengembangan teori-teori yang sudah ada.
Kriteria ketiga, adalah bahwa suatu perumusan masalah yang baik, juga hendaknya dirumuskan di dalam konteks kebijakan pragmatis yang sedang aktual, sehingga pemecahannya menawarkan implikasi kebijakan yang relevan pula, dan dapat diterapkan secara nyata bagi proses pemecahan masalah bagi kehidupan manusia.
Berkenaan dengan penempatan rumusan masalah penelitian, didapati beberapa variasi, antara lain (1) Ada yang menempatkannya di bagian paling awal dari suatu sistematika peneliti, (2) Ada yang menempatkan setelah latar belakang atau bersama-sama dengan latar belakang penelitian dan (3) Ada pula yang menempatkannya setelah tujuan penelitian.
Di manapun rumusan masalah penelitian ditempatkan, sebenarnya tidak terlalu penting dan tidak akan mengganggu kegiatan penelitian yang bersangkutan, karena yang penting adalah bagaimana kegiatan penelitian itu dilakukan dengan memperhatikan rumusan masalah sebagai pengarah dari kegiatan penelitiannya. Artinya, kegiatan penelitian yang dilakukan oleh siapapun, hendaknya memiliki sifat yang konsisten dengan judul dan perumusan masalah yang ada. Kesimpulan yang didapat dari suatu kegiatan penelitian, hendaknya kembali mengacu pada judul dan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan.

Metode Pembelajaran dalam Perspektif Islam


A. Pendahuluan

Dalam kegiatan pembelajaran ada dua kata yang populer digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu didaktik dan metodik. Didaktik adalah ilmu mengajar yang didasarkan atas prinsip kegiatan penyampaian bahan pelajaran sehingga bahan pelajaran itu dimiliki oleh anak didik.
Agar anak didik itu dapat mengetahui pelajarannya, maka seorang guru diharapkan mengajukan bahan pelajaran itu dengan baik, yakni apakah penyajian itu dapat menarik minat, motivasi atau mengaktifkan anak didik atau tidak? Oleh karena itu, kegiatan ini bertujuan hendak mempengaruhi anak didik, itulah sasaran utama didaktik.
Untuk menciptakan proses belajar bagi siswa, maka diperlukan adanya pendekatan atau metode. Pertama ekspositori, metode mengajar yang biasa digunakan dalam pengajaran ekspositori adalah metode ceramah dan demonstrasi. Kedua, pembelajaran dengan mengaktifkan siswa. Dalam metode ini siswa lebih banyak aktif, namun tidak berarti guru tinggal diam. Guru memberikan petunjuk, mengarahkan anak didik tentang apa yang harus dilakukan. Metode yang banyak digunakan dalam pembelajaran siswa aktif sebagai berikut:
1)  Tanya jawab
2)  Diskusi
3)  Pengamatan dan percobaan
4)  Pemecahan masalah
5)  Pemberian tugas.
B. Metode Pembelajaran dalam Perpektif Islam
Dalam perspektif Islam, masih ditemukan lagi metode lain di samping yang telah disebutkan di atas. Metode belajar mengajar dalam perspektif Islam yang dimaksud adalah;
1. Metode Dialog Qur’āni dan Nabawi
Metode dialog qur’āni dan nabawi adalah metode pendidikan dengan cara berdiskusi sebagaimana yang digunakan oleh Alquran dan atau hadis-hadis nabi. Metode ini, disebut pula metode khiwār yang meliputi dialog khitābi dan ta’abbudi (bertanya dan lalu menjawab); dialog deksriftif dan dialog naratif (menggambarkan dan lalu mencermati); dialog argumentatif (berdiskusi lalu mengemukakan alasan kuat); dan dialog Nabawi (menanamkan rasa percaya diri, lalu beriman). Untuk yang terakhir ini, (dialog Nabawi) sering dipraktekkan oleh sahabat ketika mereka bertanya sesuatu kepada Nabi saw.
Dialog qur’āni-nabawi merupakan jembatan yang dapat meng-hubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain sehingga mempunyai dampak terhadap jiwa peserta didik. Hal ini disebab-kan oleh beberapa faktor, yakni;
a. permasalahan yang disajikan secara dinamis
b. peserta dialog tertarik untuk terus mengikuti jalannya percakapan itu
c. dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa
d. topik pembciraan yang disajikan secara realistis dan manusiawi
Dapat dirumuskan bahwa dialog qur’āni-nabawi adalah metode pendidikan Islam yang sangat efektif dalam upaya menanamkan iman pada diri seseorang, sehingga sikap dan perilakunya senantiasa terkontrol dengan baik.
2. Metode Kisah Qur’āni dan Nabawi
Metode kisah disebut pula metode “Cerita” yakni cara mendidik dengan mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis dengan menyampaikan pesan dari sumber pokok sejarah Islam, yakni al-Qur’an dan Hadis.
Salah satu metode yang digunakan al-Qur’an untuk meng-arahkan manusia ke arah yang dikehendakinya adalah dengan menggunakan cerita (kisah). Setiap kisah menunjang materi yang disajikan, baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah simbolik.
Dalam al-Qur’an dijumpai banyak kisah-kisah, terutama yang berkenaan dengan misi kerasulan dan umat masa lampau. Muhammad Qutb berpendapat bahwa kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dikategorikan ke dalam tiga bagian; pertama, kisah yang menunjukkan tempat, tokoh dan gambaran peristiwa; kedua, kisah yang menunjukkan peristiwa dan keadaan tertentu tanpa menyebut nama dan tempat kejadian; ketiga, kisah dalam bentuk dialog yang terkadang tidak disebutkan pelakunya dan dimana tempat kejadiannya.
Pentingnya metode kisah diterapkan dalam dunia pendidi-kan karena dengan metode ini, akan memberikan kekuatan psikologis kepada peserta didik, dalam artian bahwa; dengan mengemukakan kisah-kisah nabi  kepada peserta didik, mereka secara psikologis terdorong untuk menjadikan nabi-nabi tersebut sebagai uswah (suri tauladan).
Kisah-kisah dalam al-Qur’an dan hadis, secara umum bertujuan untuk memberikan pengajaran terutama kepada orang-orang yang mau menggunakan akalnya. Relevansi antara cerita (kisah) qur’āni dengan metode penyampaian cerita dalam lingkungan pendidikan ini sangat tinggi. Metode ini merupakan suatu bentuk teknik pnyampaian informasi dan instruksi yang amat bernilai, dan seorang pendidik harus dapat memanfaatkan potensi kisah bagi pembentukan sikap yang merupakan bagian esensial pendidikan qur’āni dan nabawi.
3. Metode Perumpamaan
Metode ini, disebut pula metode “amstāl” yakni cara mendidik dengan memberikan perumpamaan, sehingga mudah memahami suatu konsep. Perumpamaan yang diungkapkan al-Qur’an memiliki tujuan psikologi edukatif, yang ditunjukkan oleh kedalaman makna dan ketinggian maksudnya.
Dampak edukatif dari perumpamaan al-Qur’an dan Nabawi di antaranya :
  • Memberikan kemudahan dalam memahami suatu konsep yang abstrak, ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda sebagai contoh konkrit dalam al-Qur’an.
  • Mepengaruhi emosi yang sejalan dengan konsep yang diumpamakan dan untuk mengembangkan aneka perasaan ketuhanan.
  • Membina akal untuk terbiasa berpikir secara valid pada analogis melalui penyebutan premis-premis.
  • Mampu menciptakan motivasi yang menggerakkan aspek emosi dan mental manusia.
4. Metode Keteladanan
Metode ini, disebut pula metode “meniru” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladan yang baik kepada anak didik.
Dalam al-Qur’an, kata teladan diproyeksikan dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat di belakangnya seperti sifat hasanah yang berarti teladan yang baik. Metode keteladanan adalah suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladanan yang baik kepada anak didik agar ditiru dan dilaksanakan. Dengan demikian metode keteladanan ini bertujuan untuk menciptakan akhlak al-mahmudah kepada peserta didik.
Acuan dasar dalam berakhlak al-mahmudah atau al-karimah adalah Rasulullah dan para Nabi lainnya yang merupakan suri tauladan bagi umatnya. Seorang pendidik dalam berinteraksi dengan anak didiknya akan menimbulkan respon tertentu baik positif maupun respon negatif, seorang pendidik sama sekali tidak boleh bersikap otoriter, terlebih memaksa anak didik dengan cara-cara yang dapat merusak fitrahnya.  
Nilai edukatif keteladanan dalam dunia pendidikan adalah metode influitif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral spiritual dan sosial anak didik. Keteladanan itu ada dua macam, yaitu :
a. Sengaja berbuat untuk secara sadar ditiru oleh si terdidik.
b. Berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang akan ditanamkan pada terdidik sehingga tanpa sengaja menjadi teladan bagi terdidik.
5. Metode Ibrah dan Mau’izhah
Metode ini, disebut pula metode “nasehat” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan motivasi. Metode ibrah dan atau mau’izhah (nasehat) sangat efektif dalam pembentukan keimanan, mempersiapkan moral, spiritual dan sosial anak didik. Nasehat dapat membukakan mata anak didik terhadap hakekat sesuatu, serta memotivasinya untuk bersikap luhur, berakhlak mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam.
Menurut al-Qur’an, metode nasehat hanya diberikan kepada mereka yang melanggar peraturan dalam arti ketika suatu kebenaran telah sampai kepadanya, mereka seolah-olah tidak mau tahu kebenaran tersebut terlebih melaksanakannya. Pernyataan ini menunjukkan adanya dasar psikologis yang kuat, karena orang pada umumnya kurang senang dinasehati, terlebih jika ditujukan kepada pribadi tertentu.
6. Metode Targhib dan Tarhib
Metode ini, disebut pula metode “ancaman” dan atau “intimidasi” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan hukuman atas kesalahan yang dilakukan peserta didik.
Istilah targib dan tarhib dan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah berarti ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh suatu dosa kepada Allah dan rasul-Nya. Jadi, ia juga dapat diartikan sebagai ancaman Allah melalui penonjolan salah satu sifat keagungan dan kekuatan Ilahiah agar mereka (peserta didik) teringat untuk tidak melakukan kesalahan.
Ada beberapa kelebihan yang paling penting berkenaan dengan metode targib dan tarhib ini, antara lain :
  • Targib dan tarhib bertumpu pada pemberian kepuasan dan argumentasi.
  • Targib dan tarhib disertai gambaran keindahan surga yang menakjubkan atau pembebasan azab neraka.
  • Targib dan tarhib Islami bertumpu pada pengobatan emosi dan pembinaan afeksi ketuhanan.
  • Targib dan tarhib bertumpu pada pengontrolan emosi dan keseimbangan antara keduanya.
C. Penutup
Belajar adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang mengubah tingkah lakunya, dengan tujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sehingga dengan ilmu itu diharapkan ada perubahan dalam diri seseorang, baik perubahan berpikir, bersikap maupun berinteraksi atau berbuat. Sedangkan mengajar adalah usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar itu secara optimal.
Tujuan utama diterapkannya metode belajar mengajar adalah untuk menumbuhkembangkan daya kognitif, psikomotor dan afektif. Agar tujuan ini tercapai, maka guru harus terampil menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik anak didik yang dihadapinya.
Kepustakaan:
Daradjat, Zakiah. Metodik Khusus Pengajaran Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Suardi, Edi. Pedagogik II. Bandung ; Angkasa, 1966.
Syaodih S., R. Ibrahim Nana. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Qutb, Muhammad. Manhaj al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Mesir: Maktab al-Kutub al-Ilmiyah, 1977.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1994.

Islam dan Kreativitas Guru dalam Metode Pembelajaran

  Makalah tidak diterbitkan. Malang: Masjidil ‘Ilm Bani Hasyim Sekolah Islam memang menggeliat belakangan ini. Lembaga pendidikan ini tidak lagi dipandang sebelah mata, sebagai lembaga yang kolot dan ‘puritan’. Maraknya para orang tua menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Islam belakangan ini, menurut pakar pendidikan yang juga mantan Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Prof DR Hidayat Syarif merupakan fenomena yang sangat positif. ”Ini fenomena yang bagus. Dulu, sekolah sekolah ini tidak mampu bersaing,” jelas Hidayat. Menurut mantan Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Bappenas ini, sekolah-sekolah Islam selain mengutamakan mata pelajaran umum yang sesuai dengan kurikulum Diknas, juga ditambah dengan mata pelajaran agama. Lebih khusus lagi, kata Hidayat, adalah pada penanaman moral, pendidikan akhlak.
Alasan serupa dikemukakan psikolog dan pemerhati pendidikan anak, Seto Mulyadi. Menurut Kak Seto, belakangan ini banyak lembaga pendidikan Islam yang telah meningkatkan kualitasnya dengan mengadopsi beberapa model atau kurikulum dari luar negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat dan lainnya. ”Semua baik, tapi yang penting harus dilakukan dengan prinsip for the best interest of the child (demi kepentingan terbaik bagi anak), bukan bagi orang tua, guru, yayasan, dan sebagainya,” jelasnya. Penulis setuju dengan pendapat Kak Seto, sumber informasi terpenting adalah dari sisi anak. Sekolah yang baik adalah baik menurut anak bukan baik menurut iklan. Pertanyaan mendasar adalah coba anak boleh melihat, mencoba, pada saat pendaftaran itu ada suasana untuk percobaan dan sebagainya lalu tanyakan kepada anak. Menurut dia bagaimana, enak nggak di sekolah itu? Kalau dia suka silahkan didaftarkan. Orangtua jangan memilih sekolah hanya karena prestise.
Sekolah Islam sebaiknya tidak mengajarkan ajaran-ajaran Islam dalam hanya sekadar dari sudut pandang orang tua. Misalnya orang tua nanti kalau berbuat ini dosa, kalau mengerjakan ini nanti masuk sorga. Jadi, akhirnya anak jadi objek untuk ambisi orang tua. Sejak dini anak memang harus dibekali dengan pendidikan agama, namun harus melihat metode yang dipakai. ”Pengajarannya bagaimana? Jangan lembaga Islam metode pembelajarannya dengan kekerasan sehingga membuat anak malah takut dengan agama. Mereka bisa anti produktif, tapi kalau Islam diajarkan dengan bernyanyi, dongeng, boneka, kegiatan bermain di taman yang menyenangkan, gurunya ramah, itu Islam akan sangat muncul dengan efektif pada diri anak.
Metode pembelajaran merupakan kunci utama berhasilnya sebuah pendidikan. ”Ada sekolah Islam yang metodenya menyenangkan tapi tidak sedikit sekolah Islam yang metodenya kurang menyenangkan. Ini yang sangat disayangkan, akan memberikan gambaran yang keliru terhadap Islam.” Anak pra sekolah, misalnya, belum saatnya dia ditakut-takuti kalau bolos, atau malas nanti masuk neraka. Anak-anak usia begini seharusnya dikenalkan bahwa Islam itu indah, sabar, kasih sayang, dan diberikan contoh konkret,” ujarnya. Yang tak kalah pentingnya, papar Kak Seto lebih lanjut, peran orang tua dalam membimbing anak. Apalagi, seorang anak justru akan lebih lama bersama orang tuanya ketimbang guru. ”Orang tua harus menyadari bahwa pendidik yang paling utama adalah orang tuanya sendiri. Jadi, orang tua harus memainkan peranan penting terhadap pendidikan anak. Dimulai dengan keteladanan atau contoh, jangan menyuruh anak shalat tapi anak tidak shalat. Jangan menyuruh kepada anak kalau dari orang tuanya tidak ada keteladanan yang konkrit dari orang tuanya.” Yang penting, kata Kak Seto, penekanannya bukan sekadar hablumminallah tapi hablum minannaas. ”Kita memberikan kepada mereka bahwa ajaran Islam itu baik hati,” ujarnya. Di rumah, hal itu bisa ditunjukkan oleh orang tua kepada anak. Ketika setelah shalat, misalnya, orang tua mendongeng bagi anak, bukan mengomel. ”Dari situ ada asosiasi antara perilaku shalat dan kasih sayang ataupun suasana kehangatan emosional ibunya yang dirasakan sekali terhadap anak,” ujarnya.
Islam sebagai rahmatan lil alamin sudah sewajarnya menerapkan apa yang dilakukan oleh Nabi di atas. Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak, bahkan sejak masih dalam kandungan. Jika anak sejak dini telah
mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orangtua. Kekerasan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, Islam mengajarkan kasih sayang, kepada yang di luar Islam harus saling menyayangi, apalagi kepada sesama muslim, sampai-sampai dikatakan bahwa sesama muslim laksana satu tubuh, jika ada bagian yang sakit maka sakitnya akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lain.
Usia pra sekolah yang berlangsung pada usia 3-6 tahun menurut Erik H. Erickson, seorang tokoh psikoanalisis, memiliki dorongan yang kuat untuk menguasai lingkungan. Krisis yang dialami adalah autonomy vs shame/doubt. Jika dia berhasil dalam tahap berkembangan ini maka akan menjadi anak yang mandiri, namun jika gagal maka akan merasa malu dan ragu-ragu.
Tugas guru pra sekolah adalah senantiasa secara kreatif menggunakan metode pembelajaran yang sesuai untuk membuat anak-anak menjadi otonom. Apapun itu metodenya, mendongeng, bernyanyi, yang penting dilakukan dengan menyenangkan. Bagaimana kita bisa membangun kontrol diri sebagai wujud kemandirian. Seperti metode yang digunakan oleh Erik H. Erikson dalam mendidik anak-anak yaitu metode Montessori adalah metode yang menekankan perkembangan inisiatif anak melalui permainan dan pekerjaan.

Ketauhidan

Pengertian Tauhid

1. Menurut Syeikh Muhammad Abduh

Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali yang wajib dilenyapkan dari pada-Nya, juga membahas tentang Rasu-rasulNya, meyakinkan kerasulan mereka, sifat-sifat yang boleh ditetapkan kepada mereka dan apa yang dilarang dinisbatkan kepada mereka.

2. Menurut Husain Affandi Al-Jisr

Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan.

3. Menurut Prof. M. Thahir A. Muin

Tauhid adalah ilmu yang menyelidiki dan membahas soal yang wajib, mustahi, dan jaiz bagi Allah dan bagi sekalian utusan-utusanNya, juga mengupas dalil-dalil yang mungkin cocok dengan akal pikiran sebagai alat untuk membuktikan adaNya zat yang mewujudkan.

4. Menurut Ibnu Khaldun

Tauhid adalah ilmu yang berisi alasan-alasan dari akidah keimanan dengan dalil-dalil aqliyah dan alasan-alasan yang merupakan penolakan terhadap golongan bid’ah yang dalam bidang akidah telah menyimpang dari mazhab salaf dan ahlussunnah.




Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu Agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu i’rab Al-Quran.

Pokok-pokok persoalan ulumul qur’an :

1. Nuzul, meliputi hal menyangkut dengan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah yang disebut Makkiah,ayat-ayat yang diturunkan di Madinah disebut Madaniah, ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi berada di kampung disebut Hadhariah, ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi dalam perjalanan disebut Safariah, ayat-ayat yang diturunkan di waktu siang hari disebut Nahariah, yang diturunkan pada malam hari disebut Lailaiah, yang diturunkan di musim dingin disebut Syitaiah, yang diturunkan di musim panas disebut Shaifiah, dan yang diturunkan ketika Nabi di tempat tidur disebut Firasyiah. Juga meliputi hal yang menyangkut sebab-sebab turun ayat, yang mula-mula turun, yang terakhir turun, yang berulang-ulang turun, yang turun terpisah-pisah, yang turun sekaligus, yanng pernah diturunkan kepada seorang nabi, dan yang belum pernah turun sama sekali.

2. Sanad, meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawatir, yang ahad, yang syaz, bentuk-bentuk qira’at Nabi, para periwayat dan para penghafal Al-Qur’an, dan cara tahammul(penerimaan riwayat).

3. Ada’al –qiraah(cara membaca Al-Qur’an). Hal ini menyangkut waqf (cara berhenti), ibtida’ (cara memulai), imalah, madd (bacaan yang dipanjangkan), takhfif hamzah(meringankan bacaan hamzah), idgham(memasukkan bunyi huruf yang sakin kepada bunyi sesudahnya).

4. Pembahasan yang menyangkut lafal Al-Qur’an, yaitu tentang gharib(pelik),mu’rab(menerimaperubahan akhir kata),majaz(metafora), musytarak(lafal yang mengandung lebih dari satu makna), muradif(sinonim), isti’arah(metafor), dan tasybih(penyerupaan).

5. Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna umum dan tetap dalam keumumannya, umum yang dimaksudkan khusus, umum yang dikhususkan oleh sunnah, yang nash, zahir, mujmal(bersifat global), mufashshal(dirinci), manthuq(makna yang berdasarkan pengutaraan), mafhum(makna yang berdasarkan pemahaman), muthlaq(tidak terbatas), muqayyad(terbatas), muhkam(kukuh,jelas), mutasyabih(samar), musykil(maknanya pelik), nasikh(menghapus), mansukh(dihapus), muqaddam(didahulukan), muakhkhar(dikemudiankan), ma’mul(diamalkan) pada waktu tertentu, dan yang hanya ma’mul(diamalkan) oleh seorang saja.


6. Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafal, yaitu fashl(pisah), washl(berhubung), ijaz(singkat), ithnab(panjang),musawah(sama), dan qashr(pendek).


Pada dasarnya dan yang menjadi pokok pembahsan Ulumul Qur’an itu adalah ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Namun, melihat kenyataan adanya ayat-ayat yang menyangkut berbagai aspek kehidupan dan tuntutan yang semakin besar kepada petunjuk Al-Qur’an, maka untuk menafsirkan ayat-ayat menyangkut disiplin ilmu tertentu memerlukan pengetahuan tentang ilmu tersebut.

Metodologi studi islam

A. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA
1. Pengertian
Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan dari kata religi dari bahasa Eropa satu pendapat menyatakan bahwa agama itu tersusun dari dua kata, tidak dang am = pergi, jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian, adalagi pendapat yang menyatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Dan agama-agam memang mempunyai kitab-kitab suci, selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntutan. Memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.
Din dalam bahasa semik berarti undang-undang atau hukum, dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan kepatuhan membawa pula kepada paham batasan baik dari Tuhan yang tidak menjalankan kewajiban dan tidak patuh akan mendapat balasan yang tidak baik.
Adapun kata religi berasa dari bahasa latin menurut satu pendapat demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegre yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejarah dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang berkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, kata itu berasal dari kata religere yang berarti mengikat ajaran-ajaran agama memang mengikat manusia dengan Tuhan.
Dari beberapa defenisi tersebut, akhirnya Harun Nasution mengumpulkan bahwa inti sari yang terkandung dalam istilah-istilah diatas ialah ikatan agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupannya sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, ikatan ghaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Adapun pengertian agaa segi istilah dikemukakan sebagai berikut Elizabet K. Nottinghan dalam bukunya agama dan masyarakat berpendapat bahwa agama adalah gesjala yang begitu sering terdapat dimana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk menjual abstraksi ilmiah. Lebih lanjut Noktingham mengatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna ari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama kerah menimbulkan khayalan yang paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga merasakan takut dan ngeri. Sementara itu Durkheim mengatakan bahwa agama adalah patulan dari solidaritas sosial.
Sementara itu Elizabet K. Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak menunjukkan pada realitas bahwa dia melihat pada dasarnya agama itu bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah gunakan oleh penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain. Misalnya, dengan cara memutar balikkan interpretasi agama secara keliru dan berujung pada tercapainya tujuan yang bersangkutan.
Selanjutnya karena demikian banyaknya defenisi sekarang agama yang demikian para ahli. Harun Nasution mengatakan dapat diberi defenisi sebagai berikut :
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatruhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu system tingkah laku (code of conduct) yang berasal di kekuatan ghaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan ghaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dan perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran yang dianutnya Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.

Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dan Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi kegenerasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, yang didalamnya mencakup unsur emosional dan kenyataan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan ghaib tersebut.

B. LATAR BELAKANG PERLUNYA MANUSIA TERHADAP AGAMA
Sekurang-kurangnya ada alasan yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Latar Belakang Fitrah Manusia
Dalam bukunya berjudul prospektif manusia dan agama, Murthada Muthahhari mengatakan bahwa disaat berbicara tentang para Nabi Imam Ali as. Menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingat manusia kepada manusia yang telah diikat oleh fitrah manusia, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak dicatat diatas kertas melainkan dengan pena ciptaan Allah dipermukaan terbesar dan lubuk fitrah manusia, dan diatas permukaan hati nurani serta dikedalaman perasaan batiniah.
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali ditegaskan kepada agama islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia, sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru dimasa akhir-akhir ini muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitri keagamaan yang ada pada diri manusia inilah yang melatar belakangi perlunya manusia kepada agama, oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya hal tersebut.
Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang berbunyi :



Artinya ; “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS.Al-rum : 30)

Setiap ciptaan Allah mempunyai fitrahnya sendiri-sendiri jangankan Allah sedang manusia saya membuat sesuatu itu dengan fitrahnya sendiri-sendiri .
Kesimpulannya bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi yang beragama ini memerlukan pembinasaan, pengarahan, pengambangan dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya.

2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia.
Faktor lainnya yang melatar belakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan .
Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang terhebat dan tertinggi dari segala makhluk yang ada di ala mini, akan tetapi mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan karena terbatasnya kemampuan M. abdul alim Shaddiqi dalam bukunya “Quesk For True Happines” menyatakan bahwa keterbatasan manusia itu terletak pada pengetahuannya hanyalah tentang apa yang terjadi sekarang dan sedikit tentang apa yang telah izin. Adapun tentang masa depan yang sama sekali tidak tahu, oleh sebab itu kata beliau selanjutnya hukum apa sajapun yang dapat dibuat oleh manusia tentang kehidupan insani adalah berdasarkan pengalaman masa lalu. Selanjutnya dikatakan disamping itu manusia menjadi lemah karena di dalam dirinya ada hawa nafsu yang selain mengajak kepada kejahatan, sesudah itu ada lagi iblis yang selain berusaha menyesatkan manusia dari kebenaran dan kebaikan. Manusia hanya dapat melawan musuh-musuh ini ialah dengan senjata agama.
Allah menciptakan manusia dan berfirman “bahwa manusia itu telah diciptakan-nya dengan batas-batas tertenu dan dalam keadaan lemah.


Artinya :
“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu (terasuk manusia) telah kami ciptakan dengan ukuran (batas) tertentu (qS. Al-Qomar : 49)

Untuk mengatasi kelemahan-kelemana dirinya itu dan keluar dari kegagalan-kegagalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan wahyu akan agama .

3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia adalah karena manusia adalah dalam kehidupan senantiasa menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan dari hawa nafsu dan bisikan syetan sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanipestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari keluhan.
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keininannya, berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obatan terlarang dan sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu upaya untuk mengatasinya dan membentengi manusia adalah dengan mengejar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu saat ini semakin meningkat sehingga upaya mengamankan masyarakat menjadi penting .

penalaran manusia

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Umumnya pengetahuan seseorang tentang sesuatu dimulai dari adanya rangsangan dari suatu objek, rangsangan itu menimbulkan rasa ingin tahu yang mendorong seseorang untuk melihat, menyaksikan, mengamati, mengalami dan sebagainya.

1.2 Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan di babahas adalah :
a. Apa yang dimaksud dengan Penalaran.
b. Apa yang dimaksud dengan logika.
c. Apa yang dimaksud dengan jenis-jenis pengetahuan.
d. Apakah sumber pengetahuan itu.
e. Bagaimana yang dimaksud standart kebenaran.

1.3 Tujuan
Adapun tujuannya adalah :
a. Untuk mengetahui penalaran manusia.
b. Untuk mengetahui logika.
c. Untuk mengetahui jenis-jenis pengetahuan.
d. Untuk mengetahui sumber-sumber pengetahuan.
e. Untuk mengetahui standar kebenaran.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu ke¬simpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupa¬kan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang diartikan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meski¬pun seperti dikatakan Pascal, hati pun mempunyai logika tersendiri. Meski¬pun demikian patut kita sadari bahwa tidak semusi kggiatan berpikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan ber¬pikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebe¬naran.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untttk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses pene¬muan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan satu proses berpikir logis, di mana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Hal ini patut kita sadari bahwa berpikir logis itu mempu¬nyai konotasi yang bersifat jamak (plurar) dan bukan tunggal (singular). Suatu kegiatan berpikir bisa disebut logis ditinjau dari suatu logika ter¬tentu, dan mungkin tidak Iogis bila ditinjau dari sudut logika yang lain. Hal ini scring menimbulkan gejala apa yang dapat kita sebut sebagai ke¬kacauan penalaran yang tidak konsistennya kita dalam mernpergunakan pola berpikir tertentu.
Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat anaditik dari proses berpi¬kirnya penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandar¬kan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Arti¬nya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yarg memper¬gunakan logika ilmiah, dari demikian juga penalaran lainnya yang mem¬pergunakan logikanya tersendiri pula. Sifat analitik ini, kalau kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan, sebab pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.

2.2 Logika
Dilihat dari segi etimologi, perkataan loika berasal dari bahasa Yunani logic kata sifat” yang berhubungan dengan kata benda logo yang artinya pikiran atau kata yang sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal ini menunjukkan kepada kita adanya hubungan erat antara pikiran dengan kata yang merupakan pernyataan dalam bahasa. Kata pikiran tidaklah asing bagi kita dan kita mengetahui apa arti berpikir pada umumnya. Berpikir adalah suatu kegiatan jiwa untuk mencapai pengetahuan.
Logika secara terminology mempunyai arti adalah ilmu yang memberikan aturan-aturan berpikir valid (sahih), artinya ilmu yang memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti supaya logika dapat digolongkan kebenaran ilmu normatif karena dia tidak membicarakan berfikir sebagaimana adanya melainkan membeicarakan bagaimana seharusnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam berpikir mencapai gagasan kebenaran itu.
Pokok-pokok persoalan logika adalah pemikiran dan beberapa proses pembantunya. Ilmu dengan cara yang sistematis mempelajari syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat berpikir secara valid, dapat menghindari serta mengetahui kesalahn-kesalahan yang terjadi.
Ogika adalah cabang filsafat yang telah dikembangkan sejak Aristoteles. Logika digolongkan kebenaran dalam teori pengetahuan. Logika menampilkan norma-norma untuk membentuk pengetahuan yang benar, tetapi juga dalam bidang yang lainnya diantaranya adalah sebagai berikut :
1. logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapang ilmu pengetahuan.
2. Logika menambah daya fakir abstrak dan melatih serta mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual.
3. Logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan autoliti.

2.3 Jenis-jenis Pengetahuan
Pengetahuan dapat diartikan secara luar, yaitu mencakup segala hal yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat pula dikategorikan kepada 2 jenis yaitu :
1. Pengetahuan Inderawi (knowledge).
Pengetahuan ini meliputi semua penomena yang dapat dijangkau secara langsung atau panca indra. Batas pengetahuan ini ialah segala sesuatu yang tidak tertangkap oleh panca indera. Kedudukan Knowladge ini adalah penting sekali, karena dia merupakan tangga untuk menuju ilmu.
2. Pengetahuan Keilmuwan (Sciench)
Pengetahuan ini meliputi semua apa yan dapat diteliti dengan jelas atau dengan ekspermen sehingga bisa terjangkau lagi oleh rasio atau otak dan panca indra manusia.
3. Pengetahuan Falsafi
Pengetahuan ini mencakup sehgala fenomena yang tidak dapat diteliti, tetapi dapat di pikirkan batas pengetahuan ini, atau alam, bahkan juga bisa menembus apa yang ada di luar alam yaitu Tuhan.




2.4 Sumber Pengetahuan
Persoalan yang pertama (tentang defenisi persoalan) sudah kita bicarakan pada uraian terdahulu. Sekarang kita bicarakan persoalan berikutnya, yaitu tentang sumber pengetahuan manusia. Louis Q. kattsof mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam yaitu :
1. Empiris
Seseorang yang empiris biasanya berpendapat bahwa kita dapat meperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti, “bagaimana orang mengetahui es membeku ?”, jawaban kita tentu berbunyi “karena saya melihatnya demikian” atau “karena seorang ilmuwan melihat demikian”. Dengan begitu, dapat dibedakan dua macam yatu . Pertama unsur yang mengetahui dan kedua unsur yang diketahui. Orang yang mengetahui merupakan subjek yang memperoleh pengetahuan dan dikenal dengan perkataan yang menunjukkan seseorang atau suatu kemampuan.

2. Rasionalisme
Tidaklah mudah membuat defenisi tentang rasionalisme sebagai suatu metode untuk memperoleh pengetahuan. Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal, bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan engalaman paling dipandang sebagai jenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesehatan terletak di dalam ide kita , dan bukan di dalam diri berang sesuatu, jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai atau kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada didalam pikiran kita dan hanya diperoleh dengan akal budi saja.




3. Fenomenalisme
Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman melakuan pendekatan terhadap masalah di atas dan memperhatikan kritik dari David Hume terhadap sudut pandangnya yang bersifat empiris dan yang bersifat rasional.
Marilah kita memahami apa yang diajarkan oleh Kant dengan memperhatikan pernyataan “kuma tifus menyebabkan demam tifus”. Bagaimanakah kita sampai dapat mengetahui keadaan yang mempunyai sebab dan akibat ini ?, umumnya orang mengatakan setelah di selidiki oleh para ilmuwan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita tifus, tentu terdapat kuman tersebut.
4. Intuisionisme
Kita mudah merasa tidak puas terhadap penyelesaian yang diajukan oleh Kant, karena penyelesaiantersebut mengatakan bahwa pada babak terakhir kita hanya mengetahui modifikasi barang sesuatu dan bukannya barang sesuatu itu sendiri dalam keadaannya yang senyatanya. Nanti saya akan kembali kepada masalah apa yang sesungguhnya memang dapat kita ketahui. Jelaslah bahwa jawaban terhadapnya untuk sebagian ditentukan oleh uraian yang telah diberikan tentang asal mula pengetahuan. Batas-batas pengetahuan ditentukan oleh jenis-jenis alat yang kita gunakan untuk meperoleh pengetahuan itu.

5. Metode Ilmiah
Perkembangan ilmu alam merupakan hasil penggunaan secara sengaja suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang menggabungkan pengalaman dengan akal sebagai pendekatan bersama, dan menambahkan suatu cara baru untuk menilai penyelesaian yang disarankan. Dari banyak diantara uraian kita sampai sejauh ini, kita mungkin telah merasakan bahwa keulitan yang dihadapi oleh filsafat ialah bahwa “filsafat tidak ilmiah”,ia mungkin akan mengeluh “di dalam ilmu kita membicarakan kenyataan empiris, di dalam filsafat tampaknya tidak ada suatu cara untuk memperoleh jawaban.



2.5 Standart Kebenaran
Banyak pakar ilmu filsafat yang meganggap benar bahwa pengetahuan itu terdiri atas sebagai berikut :
1. Pengetahuan akal.
2. Pengetahuan budi
3. Pengetahuan indrawi
4. Pengetahuan Kepercayaan
5. Pengetahuan Intuitif.
Menurut penulis, yang benar adalah pengetahuan akal itu disebut ilmu yang kemudian untuk membahasnya disebut logika, pengetahuan. Sedangkan pengetahuan kepercayaan itu disebut agama, tapi dalam hal ini tidak boleh otoritatif karena agama tidak memaksa, agam harus diterima secara logika, etika dan estetika dan agama itu hanyalah agama islam yang terbukti kebenarannya, keindahannya dan kebaikannya. Jadi, titik temu antara logika, etika dan estetika adalah islam, oleh karena itu penegetahuan intuitif kepada yang kemudian disebut Nabi Muhammad SAW, sebagaimana penulis lakukan bertahun-tahun dalam keadaan atheis dan kemudian baru menerimanya.
Selanjutnya untuk melihat sesuatu itu benar atau tidak benar, maka beberapa kriteria yang sudah dilembagakan akan penulis sampaikan beberapa kritik antara lain sebagai berikut:
1 . Teori Kebenaran Kcrespondensi.
2. Teori Kebcnaran Koherensi.
3. Teori Kebenaran Pragmatis.
4. Teori Kebenaran Sintaksis.
5. Teori Kebenaran Semantis.
6. Teori Kebenaran Non Deskripsi.
7. Tcori Kebenaran Logika yang Berlebihan.
8. Teori Kebenaran Performatif.
9. Teori Kebenaran Paradigmatik.
10. Teori Kebenaran Propcsisi.

Kebenaran korespondensi adalah kebenaran yang sesuai antara pernyataan dengan fakta di lapangan. Misalnya bila dinyatakan Sengkon dan Karta bersalah, lalu dihukum lima tahun maka Sengkon dan Karta harus benar-benar melakukan kejahatan itu, bukan sekedar membuk¬tikan dengan berbagai berita acara. Apabila Sengkon dan Karta tidak rnelakukan maka secara kebenaran korespondensi itu tidak benar.
Kebenara, konerensi adalah kebenaran atas hubungan antara dua pernyataan. Misalnya ketika dinyatakan bahwa monyet mempunyai hidung pada pernyataan pertama, dan pada pernyataan kedua dinyatakan manusia juga mempunyai hidung. Apabila diberikan kesimpulan, bahwa monyet sama dengan manusia, maka menurut kebenaran koherensi itu itu tidak benar karena hidung bukan scbagai syarat sesuatu dinyatakan sebagai monyet apalagi manusia karena manusia dan monyet ada yang tidak mempunyai hidung (cacat), jadi hanya untuk pernyataan bahwa manusia dan monyet sebagian besar mempunyai hidung.
Kebenaran logika yang berlebihan adalah kebenaran yang sebenarnya telah merupakan fakta. Jadi akan menjadi pemborosan dalam pembuktiannya, misalnya sebuah lingkaran harus berbentuk bulat. Para ahli agama menganggapnya dengan dalil aksioma yang tidak perlu dibuktikan, tetapi sebenarnya pembuktian yang berangkat dari kcraguan untuk menjadi keyakinan itu perlu dalam mencari titik temu agama dan ilmu. Misalnya ; Apakah Allah itu Tuhan? Apakah Muhammad itu Nabi? Apakah Yesus itu Juru Selamat? Apakah Kresna itu Awatara? Apakah Sidharta Gautama itu Budha? dan lain sebagainya.
Kebenaran paradigmatik adalah kebenaran yang berubah pada berbagai ruang dan waktu, jadi setelah kurun waktu tertentu berubah untuk kategori waktu dan pada tempat tertentu berubah. Thomas Kuhn adalah orang yang mempercayai kebenaran seperti ini. Contohnya dapat dilihat ketika pendapat yang mengatakan bumi mengelilingi matahari, merubah pendapat dahulu yang mengatakan matahari mengeliligi bumi. Dalam dunia ilmu-ilmu sosial perubahan ini sangat menyolok sehingga keberadaan suatu disiplin ilmu memerlukan berbagai paradigma untuk melacaknya.




DAFTAR PUSTAKA


Dr. Syafaruddin M.Pd, Filsafat Ilmu , Cipta Pustaka
Prof. Soefullah Djadja H.A, Drs. M.A, Ph., Pengantar Filsafat
Prof. S Dr Praja Junaya.., Aliran –aliran filsafat Ilmu
Prof. Dr. S. Praja Juhaya, Aliran-aliran Filsafat dan Etika