Selasa, 11 Oktober 2011

Ilmu Kalam


KAJIAN ILMU KALAM DI IAIN
M. Amin Abdullah
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam (`ilm al-kalâm) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam. Lima fakultas di lingkungan IAIN1  (Adab, Dakwah, Syari'ah, Tarbiyah dan Ushuluddin) seluruhnya mengajarkan ilmu kalam dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sedemikian kokohnya kedudukan ilmu kalam dalam studi-studi keislaman sehingga nyaris terlupakan sisi historisitas bangunan pola pikir, logika, metodologi dan sisitematika keilmuam kalam itu sendiri, yang pada gilirannya terlupakan pula agenda pengembangannya. Bagaimana sejarah perkembangan "teori-teori" ilmu kalam, model/tipe logika apa yang biasa digunakan oleh para penggunanya, faktor apa saja yang mendorong menguatnya pengaruh pendekatan kalam dalam keberagamaan Islam? Mengapa kemudian muncul ke permukaan pendekatan tasawuf menjadi counter terhadap model dan corak pendekatan kalam? Kritik terhadap model pendekatan kalam oleh ulama klasik begitu gencar, tetapi mengapa ia tetap bertahan kokoh seperti sediakala, bahkan belakangan terkesan "diproteksi" oleh berbagai kepentingan sosial-politik yang selalu mengelilinginya?
Pada era globalisasi agama dan budaya, umat Islam di seantero dunia secara alamiah harus bersentuhan dan bergaul dengan budaya dan agama orang lain. Sering kali dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak siap-ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Adanya jarak yang terlalu lebar antara "teori" dan "praksis" dalam kajian kalam, antara "idealitas" dan "relitas", antara "teks" dan "konteks", mendorong munculnya pertanyaan yang bersifat akademis: bagaimana hal demikian dapat dijelaskan? Mengapa materi ilmu kalam, lebih-lebih aspek metodologinya, tidak dapat dikembangkan sedemikian rupa --tidak seperti halnya yang terjadi pada disiplin-disiplin ilmu yang lain-sehingga diharapkan dapat memberi bekal yang cukup bagi konsumennya untuk mengarungi samudra kehidupan era baru era industri dan post industri? Mengapa seringkali timbul dalam diri umat Islam bahwa mereka adalah selalu minoritas, padahal dalam statistik mereka adalah mayoritas? Mengapa umat Islam mengalami disartikulasi politik meskipun mereka mayoritas? Adakah andil yang diduga dapat disumbangkan oleh ilmu kalam dalam konfliks etnik, ras, suku, dan agama?
Menurut pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya, lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun. Lebih lanjut dikatakan bahwa: "philosophy is, however, a perennial intellectual need and has to be allowed to flourish both for its own sake of other disciplines, since it inculcates a much-needed analytical-critical spirit and generates mew ideas that become important intellectual tools for other sciences not least for religion and theology. Therefore a people that deprives itself of philosophy necessarily exposes itself to starvation in terms of fresh ideas - in fact it commits intellectual suicide". Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut: "Bagaiamanapun juga filsafat adalah merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Hal demikian dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersifat kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi (kalam). Oleh karenanya, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energi dan kelesuan darah -dalam arti kekurangan ide-ide segar-dan lebih dari itu, ia telah melakukan bunuh diri intelektual."2
Kelesuan berpikir dan berijtihad dalam bidang ilmu kalam bukannya hanya datang belakangan ini. Menurut penelitian Muhammad Abid al-Jabiri, hampir selama 400 tahun lebih, yakni dari tahun 150 sampai dengan 550 Hijriyyah, seluruh khazanah intelektual Muslim yang tertulis dalam bahasa Arab (kitab kuning), khususnya yang berbasis pada pemikiran kalam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai pendekatan, metodologi maupun disiplin.3  Akibatnya dapat diduga, pendekatan dan pemahaman filosofis terhadap realitas keberagamaan pada umumnya, dan realitas keberagamaan Islam khusunya kurang begitu dikenal dan begitu berkembang dalam alam pikiran Muslim era kontemporer.
Pertanyaan Epistemologis
Dengan mencamkan dan mempertimbangkan temuan Fazlur Rahman dan Muhammad Abid al-Jabiri, beberapa pertanyaan pendahuluan perlu dikemukakan terlebih dahulu sebelum penulis mengeksplorasi lebih lanjut tema tulisan ini. Apakah mungkin mengawinkan atau setidaknya mendialogkan disiplin dan metodologi "filsafat" dan "kalam" dalam pemikiran Islam kontemporer, yang selama berabad-diupayakan namun selalu gagal? Jika memang begitu kenyataannya, apakah disiplin ilmu kalam, sebagai body of knowledge, yang disusun oleh ulama dan kaum cerdik cendekia terdahulu, dapat begitu saja terlepas dari pengaruh dan campur tangan dimensi ruang dan waktu ketika ia dirumuskan baik dahulu, sekarang maupun yang akan datang? Apakah akidah Islamiyah, khususnya yang dirumuskan dan diteorisasikan oleh ulama kalam klasik, tengah dan modern tidak boleh diubah sistematika, metodologi dan konteknya sesuai dengan pergumulan dan perubahan zaman serta perkembangan metodologi keilmuan yang mengitarinya? Bolehkah rumusan dan adagium-adagium ilmu kalam disusun ulang sesuai dengan tuntutan dan tantangan sosial-keagamaan serta perkembangan ilmu pengetahuan yang mengitarinya? Dapatkah dominasi pendekatan tekstual dan kontektual bergulir ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual dalam kehidupan kongkrit sehari-hari? Puncak pertanyaannya, barangkali, adalah sebagai berikut: bolehkah apa yang biasa dan selama ini disebut-sebut sebagai "doktrin", "dogma" atau "akidah" digagas sebagai teori" keilmuan kalam, karena adanya unsur campur tangan dan intervensi manusia Muslim (nabi, sahabat, ulama, fuqaha, mutakallimun, usuliyyun, cerdik cendekia) dalam merumuskan dan mensistematisasikannya?
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang lebih bersifat metodologis-epistemologis tersebut perlu dijawab terlebih dahulu, sebelum penulis melangkah lebih lanjut. Perlu ditegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang lebih bersifat filosofis-epistemologis, dan bukannya pertanyaan-pertanyaan yang bersifat doktrinal-apologis. Jangan berharap diskursus ini dapat dilanjutkan dan berhasil guna, jika saja semua jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut di atas bersifat "negatif". Jika kita mengunci rapat (menutup pintu ijtihad) dan memustahilkan perlunya telaah ulang terhadap rumusan-rumusan argumen ilmu kalam klasik, maka sama halnya kita mensakralkan suatu produk rumusan pemikiran yang sesungguhnya tidak perlu disakralkan. Dengan demikian telah terjadi proses pembakuan dan sekaligus pembekuan keilmuan. Pengembangan metodologi keilmuan tidak mungkin dan terjadilah dengan sendirinya penyempitan horizon cara pandang terhadap realitas keberagaman manusia. Sebuah proses yang mungkin saja terjadi dalam disiplin ilmu-ilmu keagamaan, lebih-lebih ilmu kalam, lantaran lengketnya "kepentingan" politik di dalamnya, namun secara epistemologis amat dipertanyakan validitas dan keabsahannya.
Perkawinan ilmu kalam (teologi) dan falsafah --lebih-lebih dengan mempertimbangkan masukan yang diberikan oleh metodologi keilmuan yang dikembangkan para ilmuwan dan cerdik-cendekia abad 18 hingga sekarang, yakni setelah ditemukan dan dikembangkannya ilmu homaniora, ilmu alam, dan ilmu agama (religious studies) --dirasakan amat mustahil jika para peneliti dan pengkaji ilmu keislaman belum-belum sudah beranggapan bahwa akidah Islamiyah yang mengejawantah dan terbungkus dalam konsepsi keilmuan kalam klasik --yang kemudian pada gilirannya membentuk dan mewarnai corak bangunan materi dan metodologi keilmuan keislaman yang lain-terlepas sama sekali dari campur tangan manusia dalam menyusun dan men-sistematis-kannya.4  Padahal sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan menggarisbawahi adanya campur tangan "kepentingan" manusia dalam setiap bangunan keilmuan.5  Tidak terkecuali ilmu kalam dan ilmu-ilmu keagamaan yang lain.
Dimensi historis-epistemologis dari ilmu-ilmu keislaman klasik amat terabaikan dalam pemahaman pemikiran keislaman kontemporer.6  Bisa dianggap sebagai terlalu bersemangat mempertahankan rumusan-rumusan baku keilmuan agama Islam, jika harus sampai dikatakan bahwa seluruh hal yang terkait dengan akidah, apalagi yang terkonsepsikan dan terumuskan dalam ilmu kalam, yakni yang disusun dan dirancang oleh para ahli ilmu kalam klasik, adalah wadl'iy (disusun dan diturunkan begitu saja adanya dari langit) dengan serta-merta melupakan dan mengabaikan dimensi historisitas bangunan keilmuan kalam itu sendiri. Namun justru pengabaian aspek historisitas keilmuan kalam inilah yang menjadi ciri umum sekaligus kekuatan dan unggulan diskursus pemikiran keislaman yang secara luas dianut dengan kokoh oleh para konsumen dan pengguna jasa ilmu-ilmu keislaman, baik di pesantren, Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), dan pemikiran keagamaan Islam pada Perguruan Tinggi Umum (PTU), majlis-majlis ta'lim maupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
Untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru, dalam tulisan ini akan ditelah tiga aspek yang terkait dengan akidah, khususnya yang telah tersistematisasikan dan terformulasikan melalui ilmu kalam: (1) Struktur fundamental pola pikir atau logika akidah; (2) teks atau nash-nash keagamaan yang terbatas, dan (3) masa depan pendekatan pengkajian ilmu kalam: kerjasama antarmetodologi keilmuan.
Struktur Fundamental Pola Pikir Akidah
Mula pertama perlu dikemukakan asumsi dasar penulis yang terbuka untuk dipertanyakan ulang. Kaum agamawan pada umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief, îmân, credo, kepercayaan, atau akidah (`aqîdah) harus dipercayai begitu saja adanya oleh para pemeluknya. Penulis sepakat dengan anggapan dasar yang demikian karena memang itulah fundamental structure dari apa yang disebut sebagai "agama". Yang menjadi perhatian utama tulisan ini adalah kata "rumusan" tentang `aqîdah, belief, îmân, kepercayaan, atau credo. Jika semuanya ini tidak dapat dilepaskan sama sekali dari "rumusan" bahasa manusia, maka di sinilah letak bahan perbincangan keilmuan yang menarik, karena rumusan, definisi, ta`rîf, dalîl dan istidlâl serta batasan-batasan yang lain mengandaikan adanya pola pikir dan logika yang menyertainya. Umumnya, pola pikir atau logika yang digunakan oleh sistem berpikir akidah, doktrin atau dogma adalah pola pikir deduktif (deductive). Pola pikir yang sangat tergantung pada teks atau nash-nash kitab suci adalah pola pikir yang bersifat deduktif. Abid al-Jabiri menyebut pola pikir seperti itu sebagai pola pikir "bayaniyyun" dan bukan `irfaniyyun, dan juga bukan burhaniyyun.7  Perlu dicatat bahwa pola pikir deduktif hanyalah salah satu dari sekian banyak pola pikir yang ada. Selain itu masih ada pola pikir lain seperti yang menggunakan cara pendekatan induktif (inductive) atau abduktif abductive).
Pola logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif adalah mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato.8  Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui manusia berasal dari "idea", yaitu ide-ide yang tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide "kebaikan" atau "keadilan" misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman historis-empiris-induktif, tetapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa manusia sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal mengingat kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.9
Plato tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan pengalaman inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, maka realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak meyakinkan. Pemikiran keislaman pada umumnya, dan pemikiran kalam khususnya, juga bersifat deduktif. Hanya saja fungsi ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato tersebut diganti -untuk tidak menyatakan diislamkan-oleh ayat-ayat al-Qur'an dan teks-teks al-Hadist. Bahkan seringkali melebar sampai ke Ijma' dan Qias. Perhatikan perlunya "dalil" dan "istidlal" sebagai landasan pola pikir dan pola bertindak dalam hidup keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan mudah menggiring seseorang dan kelompok ke arah model berpikir yang bersifat justifikatif (justificative)  terhadap teks-teks yang sudah tersedia.
Sebagai pola, pemikiran deduktif disanggah dan dikritik oleh pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini, ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang dapat ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman ini kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran. Oleh karena itu harus dibedakan antara istilah "recollection" dan "abstraction".
Ilmu pengetahuan manusia adalah hasil kerjasama antara pengalaman historis-empiris (panca indera dan alat-alat pembantunya) dan kekuatan abstraksi (akal pikiran dalam merumuskan dan membahasakannya). Maka bagi pola pikir induktif, tidak ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam alam historis-empiris dapat dijadikan bahan dasar ilmu pengetahuan10 .
Dalam analisis sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science), pola pemikiran deduktif dan induktif dianggap tidak lagi cukup memadai untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan abad 20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan, yaitu pola pikir abduktif. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan bukannya the logic of justification. Logika abduktif lebih menekankan pada unsur hipotesis, interpretasi, proses pengujian di lapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil, gagasan-gagasan yang dihasilkan dari kombinasi pola pikir deduktif dan induktif.11  Pengujian secara kritis terhadap apa saja yang dapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk di dalamnya rumusan manusia tentang keilmuan agama atau rumusan akidah, dapat dikaji kembali validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang dalam kehidupan aktual.
Dari tiga corak pola logika berpikir tersebut, pemikiran kalam ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola pikir logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan, tanpa rasa takut dan segan, maka pola pikir logika deduktif keagamaan --yang dalam hal ini adalah pemikiran kalam-- nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ditinjau dan ditelaah ulang. Hal demikian semata-mata karena bahan dasar deduksi yang digunakan oleh akidah dan kalam adalah ayat-ayat al-Qur'an dan hadist-hadist Nabi. Dengan demikian, produk pemikiran kalam dan pola pikir akidah pada umumnya telah dikunci rapat, tertutup, ghayru qabilin li al-taghyir.12
Jika memang demikian gambaran pola kerjanya, maka dari sudut kajian linguistik kontemporer dapat dijelaskan bahwa pemikiran kalam dan pola pikir akidah pada umumnya lebih menganut aliran monistik, dan bukan menganut aliran dualistik maupun pluralistik. Seperti diketahui, dalam hubungan antara makna dan lafal atau bentuk teks, terdapat tiga aliran, yakni:
1. Aliran monisme berpendapat bahwa antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahami teks karena antara teks dengan maknanya adalah sesuatu yang manunggal, satu kesatuan.
2. Aliran dualisme mengatakan bahwa antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks dapat dipisahkan. Dengan kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensi, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah begitu kompleks.
3. Aliran pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks amatlah kompleks. Sebuah teks menurut aliran ini merupakan konstruksi metafungsional yang terdiri dari makna ideasional, interpersonal dan tektual yang kompleks. Dengan kata lain, bukan hanya masing-masing makna dan bentuk teks mempunyai eksistensi tersendiri, tapi hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks13 .
Pengalaman mengajar di IAIN baik dalam program strata satu maupun strata dua dan tiga menunjukkan bahwa sangat sulit menjelaskan pada pengguna jasa keilmuan pemikiran Islam dan pemikiran kalam bahwa pola pikir yang digunakan al-Qur'an sesungguhnya adalah induktif dan sekali waktu bahkan abduktif. Istilah "asbab al-nuzul" yang sering disebut-sebut oleh ulama tafsir dan "asbab al-wurud" yang disebut-sebut oleh ulama Hadist, tidak lain dan tidak bukan adalah pola pikir induktif dan bukan deduktif.
Menurut pengamat penulis, ada kekhawatiran yang sungguh mendalam dalam diri umat Islam, jika asbab al-nuzul sampai dimaknai melalui pola pikir yang bersifat induktif, yaitu pola pikir yang didasarkan pada peristiwa-peristiwa sejarah sosial-kemasyarakatan dan sejarah sosial-keagamaan yang terjadi saat "diturunkannya" ayat-ayat tersebut. Cara memahami ayat-ayat al-Qur'an melalui pendekatan induktif-historis dianggap terlalu mendesakralisasikan makna dan peran ketuhanan. Dalam arti bahwa Tuhan tidak perlu dan kurang begitu pantas untuk terlalu turut campur tangan dalam urusan-urusan kecil sejarah kemanusiaan di dunia. Bukankah telah terjadi doktrin ilmu kalam bahwa Tuhan itu harus terbebas dari peristiwa keseharian alam semesta dan umat manusia agar terjaga kesucian-Nya. Bahasa teknis yang biasanya digunakan oleh ilmu kalam adalah "tanzîh".
Dengan lain ungkapan, corak dan pola pemikiran induktif-historis yang tercermin dalam istilah asbab al-nuzul pada akhirnya menipis dan menghilang dari wawasan dan kesadaran individu maupun kolektif umat Islam dan diganti dengan pola pemikiran deduktif yang ternyata lebih bersifat tekstualistik-skriptualistik. Jika memang demikian kenyataannya, maka pendekatan linguistik perlu juga diikutsertakan dalam pengkajian ilmu kalam kontemporer. Pendekatan linguistik atau kebahasaan dapat mempertanyakan sejauhmana fungsi majâz, yakni ungkapan yang bersifat metaforis, dalam diskursus ulum al-Qur'an dapat diangkat ke permukaan untuk membantu memecahkan kesulitan yang dihadapi oleh pendekatan tekstualistik-skriptualistik yang cenderung mengambil pola pemaknaan monistik dalam pemikiran keagamaan Islam.
Dalam perkembangan ilmu linguistik, diskursus tantang majâz dalam studi ilmu-ilmu al-Qur'an perlu dicermati kembali. Para peneliti pemikiran keislaman kontemporer seperti Muhammad Arkoun mengatakan bahwa pemikiran keislaman sampai sekarang belum memiliki teori yang komprehensif mengenai majâz.
"The role of metaphor and metonimy in religious language has not yet been fully considered up to now &ldots; Orthodox exegesis has been limited by the traditional definition of metaphor as a simple rhetorical divice used to embelish style"14
Tampaknya keprihatinan Arkoun muncul karena pemahaman terhadap ungkapan majâzî dalam kajian studi Islam (balaghah) masih sangat sederhana, yakni lebih ditekankan pada masalah estetiknya saja, yakni sebagai pemoles bahasa supaya kedengaran indah. Tidaklah aneh jika banyak dijumpai ungkapan seperti "apabila tidak ada majâz dalam al-Qur'an, maka akan hilanglah sebagian keindahan dan kemu'jizatannya" dan para ahli balaghah sepakat bahwa ungkapan majâz itu lebih baligh (lebih indah) dari pada ungkapan haqîqî. Kajian majâz yang berkembang dalam bidang balaghah umumnya masih terbatas pada persoalan makna yang berskala mikro menyangkut arti kata perkata atau arti penyandaran, apakah dalam arti yang sebenarnya atau bukan sebenarnya. Jika bukan dalam arti sebenarnya (arti majâz), maka bagaimana hubungan arti baru ini dengan arti asalnya. Apakah ia merupakan perserupaan (musyâbahah), yang lantas disebut isti'ârah; ataukah bukan merupakan perserupaan (ghayr musyâbahah), yang kemudian disebut majâz mursal? Adapun persoalan makna berskala mikro yang memandang majâz sebagai sarana untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat konseptual dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh berbagai kalangan, belum banyak --untuk tidak menyatakan belum ada-dibahas dalam kajian balaghah. Sudah barang tentu, temuan-temuan keilmuan linguistik yang baru seperti ini besar pengaruhnya dalam pengkajian ilmu kalam kontemporer, agar ia dapat dikembangkan seiring dengan derap perkembangan ilmu-ilmu yang lain.
Salah satu konsekuensi dari pola dan tata pikir deduktif-tekstualistik-skriptualistik adalah kurang tajamnya seseorang atau kelompok dalam melihat dan mencermati fenomena alam, budaya dan sosial kemasyarakatan yang selalu berubah dan berkembang sedemikian dahsyatnya.15  Akibat selanjutnya, kesadaran akan adanya dimensi historisitas sebuah konsep, ide dan gagasan (history of ideas) --apalagi jika gagasan, ide, dogma atau akidah-sulit dipahami oleh pemikiran umumnya dan pemikiran Islam pada khususnya.
Orang lupa bahwa konsep "dosa besar" dalam pemikiran kalam sesungguhnya bermula dari peristiwa historis-politik, yaitu konflik antara Amr ibn 'Ash, Ali bin Ali Talib dan Mu'awiyah. Lebih-lebih masalah "al-jabr" dan "al-ikhtiyâr". Masalah ini adalah masalah politik murni. Penguasa, dalam hal ini Mu'awiyah, sangat berkepentingan dengan konsep ini untuk meredam suara rakyat yang mempertanyakan kebijakan-kebijakan politiknya.16  Orang juga lupa bahwa al-Qur'an dalam bentuknya yang mushhâfî seperti yang ada sekarang ini adalah jasa khalifah Usman ibn Affan yang berhasil menyatukan cara membaca al-Qur'an yang saat itu ada beberapa macam bacaan dan naskah yang tersebar di berbagai wilayah. Perbedaan antara Sunnî dan Syi'î, yang semarak hingga sekarang, sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah perbedaan penafsiran terhadap berbagai kekuasaan politik, antara ahl al-bayt dan bukan ahl al-bayt. Kita juga sering lupa jika pemikiran hukum fikih hanyalah hasil ijtihad para ulama fikih klasik, baik Hanafi, Syafi'i, Maliki mupun Hambali dan yang lain-lain. Begitu pula dalam hadist (konsep hadits mutawâtir, ahad, shahîh, dha'îf, hasan, mursal, dan seterusnya), tafsif (model tahlîlî, maudhû'î, muqâran, ijmâlî, bi al-ma'tsûr, bi al-ra'y, dan seterusnya), tasawuf (salâfî, 'amalî) dan begitu juga seterusnya. Semua ilmu-ilmu keislaman tersebut mengaku merujuk kepada teks al-Qur'an sebagai dasar pola pijakannya.
Menipisnya--untuk tidak mengatakan menghilangnya-kesadaran historisitas pemikiran keislaman menyulitkan para pemikir Muslim kapanpun dan dimanapun mereka berada untuk berijtihad secara mandiri. Syarat-syarat ijtihad terlalu rumit untuk diikuti, sehingga orang lebih suka diam dan tidak bersuara daripada menyampaikan pendapat yang dipandang keluar dari patokan-patokan berpikir "baku" yang telah dirumuskan dan ditentukan oleh generasi keilmuan keislaman terdahulu yang usianya sudah hampir seribu tahun.17
Menghilangnya nuansa historisitas (salah satu problem historisitas adalah perbedaan letak geografis, iklim, musim, juga budaya dan tradisi antara satu wilayah dan lainnya) menyebabkan orang-orang Muslim imigran di Eropa harus berpuasa dengan tempo lebih lama dari waktu umumnya yang dijadikan patokan orang berpuasa di wilayah Timur Tengah dan daerah ekuator atau katulistiwa pada umumnya. Mereka tidak berani berijtihad sendiri untuk memecahkan persoalan ini. Akibatnya, dalam menjalani ibadah puasa anak-anak lebih mengalami kesulitan dibandingkan orang tua. Warga Muslim minoritas keturunan Turki, Maroko, Pakistan dan negara berpenduduk mayoritas Muslim yang lain di Timur Tengah yang tinggal di Eropa --meskipun mereka telah bekerja, berkeluarga dan sudah turun-temurun sampai pada generasi ketiga-masih saja merasa hidup dalam wilayah dâr al-harb. Oleh karena bersikap demikian, anak keturunan mereka yang sudah berbudaya dan berpendidikan Eropa juga mengalami kesulitan jika hendak berkeluarga. Mereka harus kawin atau memilih gadis pasangannya dari daerah pedalaman Turki, Maroko, Pakistan yang oleh orang tuanya diyakini masih dalam wilayah dâr al-Islâm yang murni. Perkawinan model ini umumnya tidak berusia panjang karena perbedaan budaya dan tradisi serta tingkat dan model pendidikan yang diperoleh kedua mempelai.18  Sempitnya wilayah ijtihad--lantaran generasi Muslim sekarang masih harus terpaku pada cara, metodologi, bahkan hasil berpikir dan berijtihad pada era klasik-skolastik-menumbuhkan sebuah generasi Muslim imigran yang mengalami split personality (keterpecahan kepribadian).
Tidak harus sampai ke Eropa, di wilayah Tanah Air pun sering terjadi perasaan kikuk karena harus bertetangga dengan orang yang kebetulan menganut agama lain. Sebagaimana umat Islam merasa tidak berbuat kebajikan dan beramal soleh, ketika mereka menolong tetangga yang kebetulan tidak seagama.19  Jika demikian fakta empiris yang biasa dijumpai dalam kehidupan aktual bertetangga sehari-hari, dapat dibayangkan betapa kerasnya reaksi sebagian umat Islam jika ada kelompok umat Islam tertentu yang mengajak "kerjasama" dan bergabung dengan kelompok penganut agama lain dalam satu kekuatan pollitik. Demikian gambaran singkat betapa sekat-sekat teologis, sekat-sekat akidah, sekat-sekat kalam yang dikonsepsikan dan dirumuskan era klasik-skolastik terus menerus dipelihara oleh umat beragama dewasa ini. Umat beragama pada umumnya kurang senang dan tidak begitu nyaman melihat fenomena sosial keagamaan yang bersifat plural, padahal fenomena plural tersebut terus menerus berkembang dalam dunia praksis sosial keagamaan.
Contoh yang tak seberapa di atas, lagi-lagi hanya menandaskan bahwa pola berpikir deduktif-tekstual-skripturalis yang biasa mewarnai pola pikir kalam mengalami kesulitan yang luar biasa ketika harus menatap realitas kehidupan aktual dan keharusan untuk melakukan ijtihad baru untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul karena perkembangan dan perubahan zaman. Dalam 200 tahun terakhir, perkembangan dan keberhasilan ilmu dan teknologi telah mengubah seluruh tatanan kehidupan era klasik, era skolastik, juga tidak terkecuali era salaf, era sahabat, dan era tabi'in. Perubahan itu terjadi dalam cara berpikir, mentalitas dan perilaku budaya yang menyertai penemuan ilmu dan teknologi tersebut. Keberhasilan dalam pemenuan teknologi baru dalam bidang kedokteran, bioteknologi, teknologi ruang angkasa--yang memicu timbulnya revolusi informasi dalam gelombang ketiga, (setelah revolusi hijau and revolusi industri), seperti teknologi bayi tabung, kloning, rekayasa genetika, satelit komunikasi dan begitu seterusnya--sulit diterangkan melalui model pola hubungan antara Tuhan, alam dan manusia era klasik-skolastik-prascientific.
Model konsepsi ketuhanan dan doktrin-doktrin keagamaan era klasik-skolastik membutuhkan uluran keberanian dari para pemikir keagamaan untuk merumuskan ulang konsepsi-konsepsi yang telah ada. Realitas keberhasilan bioteknologi dan rekayasa genetika menggambarkan betapa kerjasama antara manusia, alam dan Tuhan semakin nyata. Konsepsi ketuhanan dalam agama-agama yang memposisikan Tuhan terlalu jauh dari jangkauan umat manusia (tanzîh), sehingga hanya cocok untuk dikaji sebagai obyek peribadatan semata, akan sulit menerangkan bagaimana percobaan-percobaan rekayasa genetika dan bioteknologi yang dilakukan oleh umat manusia dapat berhasil sedemikian rupa, jika apa yang diupayakan oleh manusia tidak didukung oleh campur tangan Tuhan di dalamnya. Keberhasilan rekayasa bioleknologi hanya dapat diapahami, jika Tuhan ikut bekerjasama membantu manusia menciptakan makhluk baru dari hasil jerih payah kecerdasan manusia dalam meneliti dan memahami perilaku dan keajegan-keajegan alam.
Dari uraian sekilas di atas dapat dipahami, ternyata teks-teks, ayat-ayat, dalil-dalil kitab suci (al-Qur'an, Bibel, Taurat, Weda, dan begitu seterusnya) memang "terbatas". Oleh karena itu, batas pemahamannya pun jangan sampai terlalu menekankan pada yang tertulis atau tersurat. Perlu pemahaman sisi makna terdalam, maghza, semangat, spirit, dari ayat-ayat atau nash-nash kitab suci tersebut. Perlu sedikit pergeseran dari titik tekan yang dulunya hanya aspek "dalalah" kepada "maghza".20  Agar teks-teks, nash-nash dan dalil-dalil tersebut mempunyai umur panjang, baik dari segi waktu maupun tempat (salihun li kulli zaman wa makan), maka ia harus dipahami secara komprehensif melalui pemahaman yang mendalam dan interdisipliner. Makna kebahasaan secara konvensional saja tidak lagi cukup dapat menjangkau sisi terdalam dari makna ayat-ayat tersebut. Perkembangan situasi sosial, budaya, politik, ilmu pengetahuan, revolusi informasi, turut memberi andil bagaimana memaknai kembali teks-teks keagaman.
Menghindari Eksklusivisme Disiplin Kelimuan
Ketika manusia Muslim menatap masa depan peradabannya dengan cara mempertautkan teks-teks, nash-nash al-Qur'an dan al-Hadist21  yang selama ini hanya biasa dipahami secara deduktif-normatif dengan realitas kehidupan yang aktual yang terus-menerus berubah dan berkembang dan hanya dapat dipahami secara induktif-historis, dengan dibarengi sikap kritis-abduktif, maka sesungguhnya mereka telah mengaktualkan metodologi keilmuan filsafat dalam persoalan-persoalan kalam dan akidah Islamiyah. Langkah-langkah demikian itulah yang sedang dilakukan oleh generasi pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Farid Esack, Abdullahi Ahmed an-Na'im, Muhammad Syahrur, Muhammad Abid al-Jabiri dan lain-lain.22
Untuk menutup tulisan ini penulis akan menyorot serba sekilas bagaimana metodologi filsafat dapat membantu memperbaiki citra dan wibawa keilmuan kalam dan kajian-kajian keislaman lainnya dalam menghadapi persoalan-persoalan masa depan kemanusiaan yang mencakup dua masalah: pertama, yang berkaitan dengan upaya mentransformasikan norma-norma agama dalam bingkai keilmuan sebagai kekuatan budaya (cultural force) dan bukannya sekadar sebagai kekuatan moral atau spiritual (moral, spiritual force) seperti yang biasa terdengar dalam bahasa dakwah, dan kedua adalah soal pluralitas agama-agama dalam hubungannya dengan Dialog Antar Umat Beragama.
Pertama, norma agama sebagai kekuatan budaya. Tidak ada orang meragukan betapa kuat dan kokohnya kepercayaan umat Islam terhadap keberadaan dan keagungan Allah SWT. Namun kekuatan keimanan ini belum dihadapkan pada prsoalan-persoalan aktual, persoalan-persoalan kongkrit, yang dihadapi umat manusia dalam kehidupan sehari-hari sehingga tampak kurang dimanfaatkan sebagai cultural force. Istilah "iman dan taqwa" (Imtaq) yang biasa disitir oleh siapa pun di Tanah Air, khususnya para pejabat dan para juru dakwah dan penceramah keagamaan, menunjukkan hal itu. Praktik Imtaq dalam praksis sosial sangatlah lemah. Ia lebih merupakan slogan dalam berpidato di atas podium namun tidak terlaksana dalam praktik. Hal itu terbukti dengan telah membudayanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam hampir seluruh lini kehidupan di Tanah Air. Ketika umat Islam Indonesia dihadapkan pada isu aktual dan kongkrit seperti KKN ternyata kebanyakan mereka justru kurang peka terhadap isu tersebut. Jangankan memberi solusi yang aplikabel dalam kehidupan masyarakat luas, mereka sendiri justru baru sadar bahwa ternyata di luar pagar sistem peribadatan murni (mahdlah) terdapat kekuatan yang lebih dasyat yang dapat memporak-porandakan sendi-sendi moral-keagamaan perorangan, keluarga, masyarakat maupun bangsa. Sekarang mereka baru sadar bahwa penyakit KKN tidak dapat diobati melalui himbauan dan ajakan retorika keagamaan di atas podium. Ternyata KKN mempunyai logika dan mekanisme kerja tersendiri, yang terlepas dan luput dari pengamatan dan telaah sistem peribadatan pribadi umat Islam (al-ahwal al-syakhsiyyah) yang biasa mereka kaji dan tekuni dalam forum-forum kajian keislaman di Perguruan Tinggi, pesantren dan majlis-majlis taklim dan forum pengajian-pengajian lain.
Dalam telaah teoritik ilmu-ilmu sosial, KKN termasuk dalam wilayah public morality (kesalehan publik), bukan semata-mata dalam wilayah individual morality (kesalehan pribadi). Wilayah individual-morality barangkali memang cukup dibekali dan diselesaikan melalui pendekatan al-ahwal al-syakhsiyah, sedangkan persoalan public morality mempersyaratkan dikuasainya seperangkat keilmuan critical social sciences yang diharapkan dapat menciptakan sistem kontrol sosial yang handal. Kepedulian terhadap isu-isu aktual, isu-isu publik, kepentingan-kepentingan umum agaknya kurang begitu diperhatikan oleh dogma-dogma agama dan ilmu kalam pada umumnya di IAIN, STAIN dan PTAIS.
Tidak bisa tidak, jika ilmu kalam dan akidah Islam hendak diperankan dalam memecahkan problem kehidupan sosial kekinian, problem kehidupan sosial yang aktual dan kongkrit, ia harus bersedia menjalin kerjasama dengan pendekatan critical social sciences dan humaniora pada umumnya. Jika tidak, maka ilmu kalam, akidah atau dogma hanya akan bermakna secara esoteris-metafisis tetapi kurang begitu peduli, apalagi sampai terlihat dalam pergumulan isu-isu sosial-eksoterik yang sedang digelisahkan oleh umat manusia sekarang ini.
Kedua, tentang Pluralitas Agama dan Dialog Antar Umat Beragama. Dua konsep ini merupakan persoalan baru yang dihadapi oleh umat Islam khususnya dan umat beragama pada umumnya. Dalam al-Qur'an memang ada prinsip "lakum dinukum wa lii al-dien" (bagimu adalah agamamu dan bagiku adalah agamaku), namun konsep tersebut, menurut hemat penulis, lebih terkait dengan konsep Kebebasan Beragama dan bukan Dialog Antar Umat Beragama. Konsep Dialog Antar Umat Beragama muncul ke permukaan sebagai pengganti atau counter terhadap hak kebebasan beragama yang telah dideklarasikan oleh PBB. Tidak semua teolog, kyai, pastur, pendeta, bhikhu, cerdik-cendekia di Perguruan Tinggi maupun orang awam menyetujui konsep baru ini. Sama seperti ketika mereka merespon Hak Kebebasan Beragama 50 tahun yang lalu (1948). Lebih-lebih karena cara berpikir, sikap mental dan agenda yang muncul dari kedua konsep tersebut memang sangatlah berbeda. Jika konsep Kebebasan Beragama, dalam praktik di lapangan, sedikit lebih banyak mencerminkan sifat kecemburuan dan agresivitas dalam memandang dan berhubungan dengan penganut agama lain, maka konsep Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan sikap, cara berpikir dan bertindak yang lebih santun, toleran, menahan diri, dan arif terhadap realitas kemajemukan umat beragama. Kebebasan Beragama lebih mencerminkan worldview atau pandangan hidup pelaku dan mentalitas having a religion, sedangkan Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan sikap, perilaku dan mentalitas being religious.
Dialog Antar Umat Beragama beranggapan dan bahkan berkeyakinan bahwa "keselamatan" --apapun bentuk, model dan coraknya-sudah ada dalam setiap agama-agama besar dan kecil. Ibaratnya, sebagai orang luar yang tidak seagama hanya ingin memahami bagaimana sesungguhnya model keselamatan yang dipahami, ditawarkan, diyakini dan dipraktikkan oleh pengikut agama-agama lain. Tidak ada sedikitpun keinginan atau niatan untuk secara agresif menyerang, mengolok-olok, mencemooh, memandang rendah apalagi sampai merebut atau memindah pemeluk agama yang satu ke yang lain. Kalaupun terdapat apa yang disebut-sebut sebagai conversi (pindah agama), hal itu semata-mata karena didorong oleh kesadaran paling dalam dari seseorang dan bukan karena tekanan, ajakan atau bujukan dari pihak luar. Religious truth claim (monopoli kebenaran Agama) tidak terlalu diperlukan di sini. Yang lebih diperlukan adalah proses reduksi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok agama bagi para pengikutnya masing-masing untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan dan integritas sesorang.
Dialog Antar Umat Beragama lebih menitikberatkan pada keinginan dan kebutuhan untuk saling memahami dan saling tukar menukar pengalaman keagamaan yang telah dimiliki oleh masing-masing tradisi pengikut agama-agama.23  Tidak terbersit sedaikitpun usaha-usaha untuk secara sepihak "menyalahkan", "meng-kafirkan", "mengolok-olok", "menganggap tidak selamat" sistem kepercayaan dan keimanan yang dimiliki oleh orang dan kelompok lain. Jika dalam konsep "Kebebasan Beragama" masih dimungkinkan munculnya keinginan untuk "menyalahkan", "tidak menyukai" dan "menganggap tidak selamat" penganut agama lain sehingga harus diselamatkan ulang atau diagamakan kembali, maka dalam konsep Dialog Antar Umat Beragama justru sebaliknya. Janji dan harapan adanya keselamatan diangggap sudah ada dalam masing-masing agama. Hanya saja cara, model, sistem ajaran, syari'ah dan konsepsinya berbeda dari yang biasa dimiliki oleh masing-masing pemeluk. Maka hujat-menghujat, salah-menyalahkan, kafir-mengkafirkan tidak diperlukan lagi dalam era Dialog Antar Umat Beragama. Kita menerima keberadaan orang lain sepertia apa adanya, tanpa keinginan untuk merubah keyakinan agamanya supaya sama dengan keyakinan yang kita miliki. Yang diperlukan hanyalah proses saling mengenal dan saling memahami eksistensi dan hak masing-masing agama.
Jika fundamental structure dan implikasi yang ditimbulkan dari masing-masing konsep demikian adanya, maka Kebebasan Beragama yang mengandaikan perlunya dikembangkan teologi "kerukunan" antar umat beragama, harus dikembangkan selangkah lebih lanjut menjadi Dialog Antar Umat Beragama yang mempersyaratkan perlunya kerjasama antarumat beragama. Dengan ungkapan lain, kerukunan antarumat beragama sudah built-in dalam konsep "kerjasama", sebaliknya dalam konsep "kerukunan" belum tentu demikian adanya.
Dalam menghadapi nestapa manusia era modern dan modern tingkat lanjut seperti saat sekarang ini, agama diharapkan dapat menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan, menentramkan, bukan malah menjadi sumber keruwetan dan menambah tambahan beban ekstra berat yang perlu dipecahkan oleh umat-umat beragama. Tampaknya, harapan demikian akan tinggal menjadi harapan, jika umat manusia dan umat beragama tidak bersedia memahami ulang secara lebih subtansial dan berani mengubah konsepsi mereka tentang "apakah hakekat atau esensi agama tersebut"? Menurut hemat penulis, yang menjadi akar persoalan bukanlah "agama", "dîn" atau "religion" itu sendiri--yang notabene acapkali dianggap absolut atau mutlak oleh para pengikutnya--tetapi lebih pada cara berpikir, mentalitas dan perilaku budaya masing-masing pengikut agama-agama. Pola pemikiran keagamaan, mentalitas dan perilaku budaya yang bersifat "absolut", "tertutup", "eksklusif"dan "rigid" perlu digeser ke arah corak pemikiran keagamaan yang lebih bersifat "terbuka", luwes", "inklusif" dan "arif". Namun, fakta historis-sosiologisnya justru menunjukkan adanya pemisahan yang bersifat diametral antara dua macam sikap dan cara berpikir keagamaan, yang secara terus-menerus ingin dipelihara dan dilestarikan para penganut agama-agama era sekarang, serta mewarisi pola pikir dan mentalitas keagamaan era skolastik.
Sekali waktu, umat beragama perlu juga memahami bahwa fenomena agama, selain melibatkan "wahyu," ia juga lengket dengan fenomena kultural, tradisi, bahasa, adat-istiadat, habit of mind dan seterusnya. Untuk itu pada level aktual-historis-empiris, adalah realistik dan bertanggung jawab rasanya untuk lebih memperbincangkan, memahami dan menyadari adanya warna-warna keagamaan yang hitam, putih, kuning, biru, hijau, merah dan begitu seterusnya daripada terjebak pada logical fallacy "buta warna-warna" keagamaan. Konsep klasik tentang Kebebasan Beragama, yang dibarengi cara berpikir yang absolut, rigid dan tertutup, lebih mengutamakan agenda dan prioritas yang berusaha agar seluruh warna-warna keagamaan tersebut di atas dihapus dan diganti oleh satu warna yang paling unggul (superoritas keagamaan atau religious truth claim). Sementara itu, konsep Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan mentalitas, cara berpikir, bertindak dari perilaku keagamaan yang lebih santun dan rendah hati. Ia dengan tulus, sepenuh dan rendah hati mengakui eksistensi warna-warna keagamaan tersebut, tetapi sekaligus memustahilkan keberhasilan usaha yang dilakukan oleh siapapun untuk menyatuwarnakan seluruh warna-warna keagamaan yang ada. Untuk itu, dihadapkan pada pilihan tersebut, kerjasama antarberbagai umat beragama dalam praksis kehidupan, dengan tetap mengakui otonomi dan eksistensi metafisis warna keagamaan masing-masing, lebih menjanjikan dan memberi harapan baru.
Dari situ konsep Kebebasan Beragama --yang lebih berpadanan dengan konsep al-Qur'an dalam surat al-Kafirun-yang dideklarasikan 50 tahun yang lalu oleh anggota PBB terasa kehilangan relevansinya dan perlu dipertanyakan ulang nilai manfaatnya oleh banyak kalangan. Setelah mencermati watak dasar dan implikasi dari kedua konsep tersebut, maka upaya untuk menggantikan dengan konsep Dialog Antar Umat Beragama --yang lebih perpadanan dengan konsep al-Qur'an dalam surat al-Hujarat-rasanya memang lebih plausible dan viable untuk masa-masa yang akan datang.
 Dengan demikian pengajaran dan kajian kalam kontemporer tidak lagi cukup hanya mempelajari pola-pola keimanan yang dianut dan dimiliki oleh kalangan sendiri. Dalam era globalisasi agama dan budaya seperti saat ini, perlu juga dikenalkan bagaiaman pola-pola keimanan yang dimiliki oleh orang lain, di luar yang biasa diyakini. Kajian perbandingan dalam pengajaran kalam dalam Dunia Islam (Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah di satu pihak, atau Sunnî versus Syi'î di lain pihak), sudah saatnya dan semestinya dikaitkan juga dengan pola-pola dan aliran-aliran teologi yang dimiliki oleh kelompok-kelompok di luar Islam (Katolik, Protestan, Yahudi, Budha, Hindu, Kong Hu Cu). Dengan demikian, dalam pengkajian kalam kontemporer lebih diperlukan untuk mengedepankan pentingnya metodologi, fundamental theories, basic, current, living atau actual issues serta comparative perspective (perspektif perbandingan) dalam persoalan-persoalan keagamaan dalam hidup sehari-hari daripada hanya sekadar menyentuh aspek sejarah dan perkembangan ilmu kalam dalam dirinya sendiri, apalagi kalau hanya terbatas pada pembahasan dan pengulangan konsep-konsep yang abstrak yang tidak menyentuh persoalan hidup keseharian manusia baik sebagai individu maupun kelompok.
Penutup
Jika yang dimaksud "filsafat" seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman dalam awal tulisan ini adalah "isme-isme" atau aliran-arilan filsafat yang biasanya dikenal sekarang ini, maka aktualisasi filsafat dalam pengajaran dan pengkajian kalam sangatlan tidak mungkin. Ideologi-idelogi besar dunia justru menjadi lawan dari ideologi Islam. Hubungan antarkeduanya adalah ibarat minyak dan air. Dalam tulisan ini, apa yang disebut-sebut sebagai "filsafat" adalah "metodologi berpikir". Berpikir kritis-analisis dan sistematis. Ia lebih memcerminkan "proses" berpikir, dan bukan sekadar "produk" berpikir.
Dalam "proses" berpikir itulah metodologi filsafat dapat diaktualisasikan dalam pemikiran kalam. Tanpa dibarengi sentuhan filsafat, agama dan kekuatan spiritual yang lain dalam era globalisasi budaya akan semakin sulit memerankan jati dirinya. Kerjasama antarberbagai metodologi keilmuan --dan bukannya eksklusivisme disiplin keilmuan-adalah merupakan conditio sine qua non bagi pengembangan keilmuan kalam dalam menatap realitas sosial keagamaan di masa depan.


Catatan Akhir
 1 Hingga 1999, terdapat 14 IAIN di seluruh tanah air dan 38 STAIN dengan jumlah mahasiswa tidak kurang dari 100 ribu mahasiswa, belum lagi ditambah dengan PTAIS.
 2 Fazlur Rahman. Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradision (Chicago and Lodon: The University of Chicago Press, 1982), halaman 157-8. Cetak miring dan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh penulis.
 3 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al- Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990), halaman 497-8.
 4 Lebih lanjut dapat diikuti dalam buku penulis Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), khususnya halaman 172-173.
 5 Untuk informasi lebih mendalam, lihat Gregory Baum, Truth Beyond Relativism: Karl Manheim's Sosiology of Knowledge, edisi bahasa Indonesia Agama dalam Bayang-bayang Relativism: Sebuah Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Manheim tentang Sintesa Kebenaran Historis-Normatif, terjemahan Achmad Nurtajib Chaeri (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
 6 Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terjemahan Hasim Saleh (Beirut: Markaz al-innma' al-qaumy, 1990), halaman 172-173.
 7 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby. 
 8 Studi yang cukup mendalam tentang struktur fundamental pemikiran kalam dilakukan oleh Josep Van Ess dalam tulisannya "The Logical Structure of Islamic Theology" dalam Issa J. Boullata, an-Anthology of Islamic Studies (Montreal: McGill Indonesia IAIN Depelpment Project, 1992). Juga sebagai studi banding Harry Austryn Wolfon, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard Univesity Press, 1976), halaman 382-385.
 9 Edith Hamilton and Hutington Cairns (Ed), Plato: The Collected Dialoques (Princeton: Princeton Univesity Press, 1961).
 10 Bandingkan dengan M. Amin Abdullah "Dimensi Epistemologi Filsafat Islam" dalam Studi Agama Normativitas atau Historisitas?  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), halaman 243-264.
 11 Justus Bucher, Charles Peirce's Empiricism (New York: Octagon Books, 1980), halaman  38-40: 131-132.
 12 Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq Wa al-Syiyasah, terjemahan Hasan Saleh (Beirut: Markaz al-inma' al-qaumy, 1990), halaman 172-173.
 13 Burhan Nurgiantoro, teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), halaman 282, sedang kompleksitas yang terkait dengan persoalan bahasa, lebih lanjut I Bambang Sugiharto, Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), halaman 140. Dalam kaitannya dengan Islamic Studies, lihat Muhammad Arkoun. al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihad, terjemahan dan komentar Hashim Salih (London: Dar al-Saqi, 1990), halaman 201-206.
 14 Muhammad Arkoun. "The Notion of Revelation" dalam Lectures du Coran (Tunis: Alif Edition de la Mediterrance, 1991), halaman 264.
 15 Hasan Hanafi dengan tandas mengajukan pertanyaan yang bernada keluhan: Limadza ghaba mabhatsu al-insan wa al-tarikh fi turatsina al-qadim? Dalam khasanah intelektual Islam klasik? Lebih lanjut dalam bukunya Dirasat Islamiyah (Qahirah: Mahtabah al-Anjilo Al-Misriyyah. Tt), halaman 393-415 dan 416-456.
 16 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby, halaman 571-2
 17 Kasus kontemporer di Mesir dialami oleh Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zaid. Lebih lanjut Stefan Wildd, The Qur'an as Texk (Leiden: E.J. Brill, 1996), halaman ix-x. Juga Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-tafkir: Zidda al-jahl wa al-zaid wa al-khurafat (Al-qahirah: Sina li al-nasyr, 1995).
 18 Wawancara penulis dengan Dr. Karel Steenbrink bersama A. Syafi'i Anwar, mantan pemimpin redaksi Ummat di Utrecth, Belanda, Nopember 1997. Persoalan-persoalan aktual yang dihadapi oleh minoritas Muslim di Eropa dapat dibaca dalam W.A.R. Shadid and P.S.V. Koningsveld (Eds), Muslim in the Margin: Political Responses to Pesnce of Islam in Western Europe (Kampen the Netherlands: Kok Phoros publishing hhouse, 1996).
 19 Ungkapan dan pernyataan tersebut diunngkapkan oleh pemirsa TV Station Yogyakarta kepada penulis ketika mengisi acara Dialog Ramadhan di TV Station Yogyakarta pada 1995.
 20 Diskusi menarik tentang tema ini dapat ditelusuri lebih lanjut dalam Nasr Hamid Abu Zaid, naqd al-khitab al-diniy (Qahira: sina li al-nasyr, 1994), halaman 139-193.
 21 Upaya memahami teks-teks al-hadist secara kontekstual mulai dilakukan atau lebih tepat dihangatkan oleh ulama kontemporer seperti Muhammad al-Ghazali. Lihat lebih jauhnya bukunya al-Sunnah al-Nabawiyyah: Baina ahl fiqh&ldots; wa ahl al-hadist (Beirut: Dar al-Syuruq, 1989).
 22 Cepat atau lambat, seluruh buku dan karya para pemikir Muslim kontemporer tersebut akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dibaca khalayak luas baik oleh masyarakat akademik maupun non-akademik, dosen IAIN, kalangan pesantren dan juga warga Perguruan Tinggi umum akan menyimak dan mengikuti pemikiran-pemikiran tersebut. Sejauhmana kurikulum dan silabi mata kuliah studi keislaman dipersiapkan metodologinya untuk itu? Itulah salah satu agenda mendesak pemikiran Islam di Tanah Air, khususnya di kalangan IAIN, STAIN dan PTAIS.
 23 Bandingkan dengan al-Qur'an, surat al-Hujarat, ayat 11-13. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak berbuat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim: Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagaian prasangka itu adalah dosa dan janganlah sebagaian kamu menggunjing sebagaian yang lain. Sukakah salah satu di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang paling bertakwa diantara kamu. Sesunguhnya Allah Maha Megetahui lagi Maha Mengenal." Dikutip dari al-Qur'an dan terjemahannya (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia), Cetak miring dari penulis.


Kepustakaan
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
________, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 1996). 
Arkoun, Muhammad, Al-Fikr al-Islamy: Naqd wa Ijtihad, terjemahan dan komentar Hasim Salih (London: Dar al-Saqi, 1990).
________, al-Islam: al-akhlaq wa al-Siyasah, terjemahan hasim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma al- qaumy, 1990).
________, "The Notion of Revelation" dalam Lectures du Coran (Tunis: Alif Edition dela Mediterrane, 1991).
Baum, Gregory, Truth beyond relativism: Karl Manheim's Sosiology of konowlwdgeI, edition bahasa Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terjemahan Achmad Murtajib Chaeri (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).
Bucher, Justus, Charles Peirce's Empiricis (New York: Octagon Books, 1980).
Cairns, Huntington and Hamilton, Edith (Ed.), Plato: The Collected Dialoques (Princeton: Princenton University Press, 1961).
Departemen Agama Republik Indonesia,Al-Qur'an dan Terjemahnya.
Ess, Josep van, "The Logical Structure of Islamic Theology" dalam issa.J. Boullata, An-Anthology of islamic Studies (Montreal: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992).
al-Ghazali, Muhammad, al-Sunnah al-Nabawiyyah: Bayna ahl al-fiqh &ldots; wa ahl al-hadists (Beirut: Dar al-Syuruq, 1989).
Hanafi, Hasan, Dirasah Islamiyyah (Qahirah: Mahtabah al-Anjilo al-Misriyyah, tt).
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al-Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990).
Koningveld P.S.V. and W.A.R. Shadid, (Ed), Muslim in the Margin: Political Responses to Presence of Islam in Western Europe (Kampen the Netherland: Kok Phoros Publishing House, 1996).
Nurgiantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press 1995).
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation an Intelectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Perss, 1982).
Sugiharto, I. Bambang, Posmodernisme, Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
Zaid, Nasr Hamid Abu, Naqd al-khitab al-diniy (Qahira: Sina li al al-Nasr, 1994).
________, al-Tafkir fi Jamani al-Takfir: Zidda al-Jahl wa al-Zaif wa al-Khurafat (al-Qahirah: Sina li al-Nasyr, 1995).
Wild, Stefan, The Qur'an as Text  (Leiden: E.J. Brill, 1996).
Wolfson, Harry Austryn, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Perss, 1976).




Ilmu kalām (Arab: علم الكلام‎) adalah falsafah mencari prinsip-prinsip teologi Islam melalui dialektik. Dalam bahasa Arab perkataan ini secara harfiah bermakna "pertuturan". Seorang cendekiawan kalam dirujuk sebagai seorang mutakallim (ahli teologi Islam; majmuk mutakallimiin). Terdapat banyak tafsiran mengapa disiplin ini digelar "kalam"; salah satu daripadanya adalah kontroversi terbesar dalam bidang ini berkaitan dengan pertuturan Allah.

Mazhab (مذهب) ialah bahagian pemikiran atau fiqah dalam Islam.
Dalam Islam sebenarnya ada banyak mazhab. Hal ini kerana ulama yang berkemampuan dari kalangan sahabat Nabi, tabiin dan tabi’ Al-Tabiin yang mempunyai cukup syarat dan keperluan berijtihad adalah ramai.
Bagaimanapun, mengikut pendapat ulama Sunni, mazhab muktabar yang boleh dibuat pendapat dan beramal untuk umum cuma empat mazhab, mengikut qaul yang rajih.
Bagi Islam Sunah, terdapat 4 mazhab iaitu Syafie, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Keempat-empat mazhab ini mempunyai peraturan, kaedah dan panduan yang sempurna lagi lengkap yang ditulis oleh mereka dalam kitab masing-masing. Ia menjadi bahan tidak ternilai dalam perbendaharaan undang-undang Islam. Mazhab lain, tidak mempunyai kaedah cukup yang dibukukan untuk dijadikan panduan dalam bidang perundangan sebagaimana yang empat tadi. Umat Islam di Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand dan Indonesia kebanyakannya mengikuti mazhab Syafie.
Bagi Islam Syiah pula, ada tiga mazhab utama iaitu Jaafari, Ismaili dan Zaidi.

Mazhab Hanafi

Untuk rencana penuh, lihat Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi diasaskan oleh Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 Hijrah. Beliau adalah seorang berjiwa besar dan berakhlak tinggi. Beliau seorang yang bijak dalam ilmu pengetahuan. Cekap memberikan satu-satu keputusan bagi masalah yang dihadapi.
Oleh kerana beliau seorang berpengetahuan, bijak dan berakhlak mulia, maka dapat membuat perhubungan rapat dengan pembesar negara.
Beliau mendapat tempat baik dalam masyarakat dan berjaya menyandang jawatan tinggi dalam pemerintahan.
Iman Abu Hanifah terkenal sebagai seorang alim dalam ilmu fiqh di Iraq. Beliau juga sebagai ketua ahli fikir (ahli ra’u). Golongan cerdik pandai pada masa itu menyifatkan beliau sebagai "akal dalam ilmu pengetahuan."
Ketika hayatnya, beliau dapat mengikuti pelbagai perkembangan ilmu pengetahuan, baik di bidang ilmu dan politik mahupun ilmu agama. Zaman beliau dikenali sebagai zaman pertumbuhan politik, agama serta ideologi dan ism yang pelbagai.
Beliau dapat hidup dalam dua zaman pemerintahan Umaiyyah dan Abbasiyah.
Sesungguhnya Abu Hanifah seorang yang luas pemikiran dan banyak ilmu. Tetapi beliau sangat merendah diri. Beliau tidak terpedaya dengan fikirannya sendiri
Mazhab Hanafi turut digelar mazhab yang sangat rasional

Mazhab Maliki

Untuk rencana penuh, lihat Mazhab Maliki
Pengasas mazhab Maliki ialah Malik Bin Anas. Beliau lahir di kota Madinah pada tahun 93 hijrah.
Imam Malik dilahirkan 13 tahun selepas kelahiran Imam Abu Hanifah. Sewaktu hidupnya, Iman Malik mengalami dua corak pemerintahan iaitu Ummaiyah dan Abbasiyah, di mana pertelingkahan sengit dua pemerintahan sering berlaku.Pada masa itu juga pengaruh ilmu pengetahuan Arab, Parsi dan Hindi tumbuh dengan suburnya di kalangan masyarakat. Iman Malik menghafaz al-Quran dan hadis Rasulullah. Ingatannya sangat kuat. Beliau mendengar hadis daripada guru. Kemudian terus disimpulkan tali bagi menyenangkan perhitungan bilangan hadis yang pelajarinya.

Pada permulaan hidupnya, Imam Malik bercita-cita menjadi biduan tetapi ibunya menasihatkan supaya beliau memadam hasrat itu. Ibunya kemudian mahukan anaknya mempelajari ilmu fiqh. Beliau menerima nasihat ibunya dengan baik. Iman Malik adalah seorang guru miskin. Pernah suatu hari, kayu bumbungnya rumahnya roboh. Beliau kemudian menjual kayu itu untuk mendapat sedikit wang untuk perbelanjaan hidupnya. Namun, Allah murahkan rezekinya hingga menjadi kaya. Dengan kedudukan itu, beliau memakai pakaian mahal dan bau-bauan yang baik. Imam Malik adalah seorang yang cergas dalam menuntut ilmu.

Beliau banyak membuat hubungan dengan ahli hadis dan ulama. Imam Malik dianggap sebagai ketua atau imam bagi ilmu hadis. Sanad (sandaran) yang dibawa oleh beliau, termasuk salah satu sanad terbaik dan benar. Imam Malik adalah seorang yang dipercayai, adil dan kuat ingatannya serta cermat dan halus memilih rawi-rawi hadis. Pendek kata, Imam Malik adalah orang yang tidak diragui dalam konteks ini. Imam Malik tetap berpegang teguh pada ajaran Rasulullah bahawa hadis itu petunjuk dan penyuluh kepada manusia. Seseorang tidak harus meninggal dan membelakangkannya.

Sebelum Imam Malik menjadi guru, beliau terlebih dahulu mendalami ilmu yang dipelajarinya hingga kadang-kala tidak tidur. Selepas fikirannya matang dan benar-benar berkebolehan, barulah beliau mengajar. Hukum fiqh yang diberikan oleh Imam Malik berdasarkan al-Quran dan hadis. Imam Malik menjadikan hadis sebagai pembantu bagi memahami al-Quran. Beliau juga sangat cermat dalam memberi penerangan dan hukum. Imam Malik berfikir panjang sebelum memberi satu-satu hukum atau fatwa.

Beliau pernah berkata: “Kadang-kala aku berjaga satu malam suntuk untuk mencari jawapan bagi satu-satu soalan yang dikemukakan kepada aku.” Apabila beliau ditanya satu-satu hukum, beliau terus berkata kepada penanya : “Pulanglah dulu supaya aku dapat berfikir.” Ramai manusia merendah-rendahkan Imam Malik kerana beliau melewat-lewatkan menjawab sebarang pertanyaan. Imam Malik menangis dan berkata “Aku bimbang kerana aku akan disoal satu hari nanti (hari kiamat)”.
Mazhab Maliki turut digelar sebagai mazhab yang terlalu tradisional

Mazhab Syafie

Untuk rencana penuh, lihat Mazhab Syafie
Mazhab Syafie diasaskan oleh Muhamad bin Idris Al-Syafie. Beliau dilahirkan pada tahun 150 hijrah di sebuah bandar yang bernama Ghizah di Palestin.
Inilah tarikh paling masyhur dikalangan ahli sejarah.
Imam Syafie adalah keturunan Bani Hashim dan Abdul Mutalib. Keturunannya bertemu dengan keturunan Rasulullah di sebelah datuk Baginda iaitu Abdul Manaf.
Beliau seorang miskin, tetapi kaya dengan semangat dan bercita-cita tinggi dalam menuntut ilmu. Beliau banyak mengembara dalam menceduk dan menimba ilmu.
Imam Syafie dianggap seorang yang dapat memadukan antara hadis dan fikiran serta membentuk undang-undang fiqh. Pada permulaannya beliau cenderung dalam bidang sastera dan syair, tetapi mengubah pendiriannya kepada mempelajari ilmu fiqh dan hadis hingga ke tahap paling tinggi.
Imam Syafie ialah imam ketiga mengikut susunan tarikh kelahiran mazhab empat serangkai.
Beliau adalah penyokong kepada ilmu hadis dan pembaharuan agama (mujaddid) bagi abad yang ke-2 hijrah. Imam Ahmad Bin Hanbal pernah berkata: “Diceritakan kepada Nabi Muhamad bahawa Allah menghantar kepada umat ini seorang pembaharu kepada agama, Umar Bin Abdul Aziz dihantar untuk abad yang pertama dan aku harap Imam Syafie adalah mujadid abad yang kedua.”
Ketika muda, Imam Syafie, hidup dalam kemiskinan, hingga beliau terpaksa mengumpul batu-batu, belulang, pelepah tamar dan tulang untuk ditulis di atasnya. Beliau kadang-kala terpaksa ke tempat perhimpunan orang ramai meminta kertas untuk menulis pelajarannya.
Imam Syafie menghafaz al-Quran dengan mudah iaitu ketika masih kecil lagi. Beliau menghafaz dan menulis hadis.
Beliau sangat tekun mempelajari kaedah dan nahu bahasa Arab. Untuk itu, beliau pernah mengembara ke kampung dan tinggal bersama puak Hazyal selama 10 tahun. Hal ini kerana puak Hazyl terkenal sebagai kabilah yang paling baik bahasa Arabnya.
Imam Syafie banyak menghafaz syair dan qasidah daripada puak Hazyl. Beliau juga banyak menumpukan masa dan tenaganya kepada sastera dan sejarah pada masa mudanya. Namun, Allah menghendaki dan melorongkan kepadanya dalam bidang ilmu fikah.
Antara sebabnya, pada suatu hari Imam Syafie bersyair sambil menunggang kuda bersama seorang lelaki. Lalu berkata lelaki itu : “Tidak sesuai engkau bersyair kerana itu boleh menjatuhkan maruah. Alangkah baiknya belajar ilmu fiqh?”
Kata-kata itu sangat memberi kesan kepada Imam Syafie. Sejak itu beliau menumpukan masa dan tenaga kepada ilmu fiqh.
Salah seorang guru Imam Syafie dalam pelajaran ilmu fiqh dan hadis ialah Imam Malik. Antara guru Imam Syafie selain Imam Malik ialah mufti dan faqih Mekah iaitu Muslim bin Khalid az-Zanji, dan Syaikhul Muhaddisin Sufyan bin Uyaynah.
Ilmu fiqh yang dibawa oleh Imam Syafie adalah satu zaman perkembangan ilmu fiqh dalam sejarah perundangan Islam. Hal ini kerana beliau yang menghimpun atau menyatukan ilmu fiqh ahli akal dan fikir dengan ilmu fiqh ahli akal dan hadis.
Ilmu fiqh Imam Syafie adalah ikatan sunnah dan qias serta pemikiran dengan beberapa pertimbangan dan sekatan. Hal ini demikian kerana ilmu fiqh yang menetapkan cara atau peraturan untuk memahami al-Quran dan hadis. Ia juga menetapkan kaedah pengeluaran hukum dan kesimpulannya.
Lantaran itulah beliau berhak dianggap penaja bagi ilmu usul fiqh.
Mazhab Syafie merupakan jalan tengah bagi Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Imam Syafie sendiri pernah berfahaman Maliki dan Hanafi.

Mazhab Hanbali

Untuk rencana penuh, lihat Mazhab Hanbali,
Pengasas mazhab Hanbali ialah Ahmad bin Mohamad bin Hanbal. Beliau lahir di bandar Baghdad pada tahun 164 hijrah.
Ibnu Hanbal dari keluarga miskin. Sewaktu bapanya meninggal dunia, keluarganya tidak ditinggalkan harta yang banyak kecuali sebuah rumah kecil yang didiaminya. Untuk menampung kehidupan, beliau terpaksa bekerja di kedai jahit.
Ibnu Hanbal menuntut ilmu sepanjang hayatnya. Beliau mempelajari hadis hingga menjadi seorang imam.
Seseorang pernah berkata kepadanya: “Sampai bilakah engkau hendak menuntut ilmu? Padahal engkau sudah mencapai darjat paling tinggi dan engkau telah menjadi imam bagi seluruh umat Islam?”
Imam Ibnu Hanbal menjawab: “Aku menuntut ilmu dari hujung dunia hingga ke pintu kubur.”
Memang benar beliau tidak pernah jemu menuntut ilmu sepanjang hayatnya.
Imam Syafie adalah salah seorang guru beliau. Ibnu Hanbal bertemu Imam Syafie di Hijaz, sewaktu beliau menunaikan haji. Pada waktu itu, Imam Syafie mengajar di Masjidil Haram.
Ibnu Hanbal mempelajari ilmu daripadanya. Mereka kemudian bertemu kali kedua di Baghdad. Imam Syafie menasihatinya supaya mengikutnya ke Mesir. Imam Ibnu Hanbal bercadang mengikutinya tetapi niatnya tidak kesampaian.

Syi'ah

Rencana utama: Syi'ah
Syi'ah atau lebih dikenal lengkapnya dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali pada awal mula perkembangannya juga banyak memiliki aliran. Namun demikian hanya tiga aliran yang masih ada sampai sekarang, yaitu Itsna 'Asyariah (paling banyak diikuti), Ismailiyah dan Zaidiyah. Di dalam keyakinan utama Syi'ah, Ali bin Abu Thalib dan anak-cucunya dianggap lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan sebagai khalifah dan imam bagi kaum muslimin. Di antara ketiga mazhab Syi'ah terdapat perbezaan dalam hal siapa saja yang menjadi imam dan pengganti para imam tersebut.

Mazhab Jaafariyyah

Rencana utama: Jaafariyyah
Mazhab Ja'fari atau Imam Dua Belas (Itsna 'Asyariah) adalah mazhab dengan penganut yang terbesar dalam Muslim Syi'ah. Dinisbatkan kepada Imam ke-6, iaitu Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Keimaman kemudian berlanjut yaitu sampai Muhammad al-Mahdi bin Hasan al-Asykari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja'far ash-Shadiq. Mazhab ini menjadi mazhab rasmi Negara Republik Islam Iran.

Mazhab Ismailiyyah

Rencana utama: Ismailiyah
Ismailiyah adalah mazhab dengan jumlah penganut kedua terbesar dalam Islam Syi'ah, selepas mazhab Imam Dua Belas (Ithna 'Asyariah). Sebutan Ismailiyah diperoleh pengikut mazhab ini kerana penerimaan mereka ke atas keimaman Isma'il bin Ja'far sebagai pewaris dari Ja'far ash-Shadiq. Pengikut mazhab Ithna 'Asyariah, di lain pihak menerima Musa al-Kadzim sebagai Imam mereka. Baik Ismailiyah mahupun Ithna 'Asyariah sama-sama menerima keenam enam Imam Syi'ah terdahulu, sehingga memiliki banyak persamaan pandangan atas sejarah awal mazhabnya.

Mazhab Zaidiyah

Rencana utama: Zaidiyah
Mazhab Zaidi atau Mazhab Lima Imam berpendapat bahwa Zaid bin Ali merupakan pengganti yang berhak atas keimaman dari ayahnya Ali Zainal Abidin, saudara tirinya, Muhammad al-Baqir. Dinisbatkan kepada Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Setelah kematian imam ke-4, Ali Zainal Abidin, yang ditunjuk sebagai imam selanjutnya adalah anak sulung beliau yang bernama Muhammad al-Baqir, yang kemudian diteruskan oleh Ja'far ash-Shadiq. Zaid bin Ali menyatakan bahawa imam itu harus melawan penguasa yang zalim dengan pedang. Setelah Zaid bin Ali syahid pada masa Bani Umaiyyah, beliau digantikan anaknya Yahya bin Zaid.

 Wahabi (Arab: Al-Wahhābīyya‎ الوهابية) atau Wahhabisme merupakan satu fahaman/aliran dominan yang diamalkan oleh ulama-ulama Haramain/Mekah yang diasaskan oleh Muhamad Abdul Wahab. Fahaman ini dikukuhkan lagi oleh keluarga diraja Ibn Saud yang kini memerintah negara Arab Saudi. Dinasti al-Saud memerintah Arab Saudi sejak 1924. Beliau dilantik Menteri Penerangan Arab Saudi.
Fahaman ini disebut juga sebagai Wahhabi atau Wahabisma. Istilah ini muncul berdasarkan nama bapa pengasasnya.
  • Golongan Wahabi lebih suka menyebut diri mereka sebagai Salafi, Salafiah, Muhawidun yang bermaksud 'satu Tuhan'.
  • Mereka mendakwa menurut pemikiran Ahmad ibn Hanbal (al Hanbaliah, al Hanabilah) yang merupakan salah satu mazhab dalam Ahlil Sunnah Wal Jamaah. Dalam hukum feqah, mereka berpegang kepada tafsiran Ibn Taymiyyah. Faham Wahabi dianggap sebagai penerusan faham Ibn Taimiah, bahkan dalam banyak hal lebih radikal lagi dari Ibn Taimiah.
Aliran Wahabi ini sangat dominan di Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Somalia, Algeria, Palestin dan Mauritania.

Muhammad bin Abdul Wahhab (1701 - 1793 m) lahir di Kampung Ainiyah, Najd, Arab Saudi. Beliau berasal dari kabilah Bani Tamim. Buku beliau bertajuk 'Kitab al Tawhid'.
Beliau adalah seorang ulama pembaharuan dan ahli teologi agama Islam yang mengetuai gerakan salafiah. Wahabi dianggap sebagai ultra-konservatif berbanding salafi. Ia dianggap sebagai gerakan pembaharuan, bukan satu mazhab.
Beliau memperkenalkan semula undang-undang Syariah di Semenanjung Arab. Beliau sangat dipengaruhi oleh Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taimiah].
Beliau belajar agama dari Syeikh Muhamad Sulaiman al-Kurdi dan kepada bapanya sendiri Syeikh Abdul Wahab dan abangnya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab. Setelah dewasa pergi ke Mekah untuk mengerjakan haji dan balik semula ke Kampung Ainiyah, Najd, Arab Saudi.
Semasa di Madinah, beliau dapati banyak amal ibadat orang Islam bertentangan dengan syariat Islam kerana mereka mereka lebih suka beribadat dekat dengan makam Rasulullah.
Beliau pindah ke Basrah dan mengeluarkan fatwa yang ganjil-ganjil. Beliau diusir lalu pergi ke Hassa dan berguru dengan Abdullah bin Abdul Latif.Beliau diusir lagi , lalu pergi semula ke Kampung Ainiyah, Najd. Mulanya Raja Osman bin Ahmad Ma`mar membantunya, namun setelah mendengar fatwa-fatwa ganjilnya, beliau diburu dan mahu dibunuh.
Beliau lari pula ke Duri`yah dan mendapat bantuan Raja Muhammad bin Saud di Duri'yah. Sejak itu fahaman Wahabi berkembang pesat. Beberapa delegasi dihantar menemui syarif-syarif di Mekah dan mengembang ajaran Wahabi. Ajaran mereka ditolak , malah sebahagiannnya dibunuh. Sejak itu terjadi pemusuhan antara kaum Wahabi di Najd dengan syarif-syarif Mekah. Sejak itu, Syeikh Abdul Wahab memfatwa bahawa banyak orang Mekah kafir kerana berdoa dengan bertawassul di hadapan makam Nabi. Syarif Mekah membenarkan orang yang datang jauh mengerjakan haji menziarahi makam Nabi, berdosa mengadap makam Nabi. Syarif-syarif Mekah terus diperangi.

[sunting] Amalan kaum Wahabi menurut hadith

Kaum Wahabi dua kali menguasai Hijaz iaitu 1803-1813 dan dari 1924.
Perubahan yang mereka lakukan ialah :
  1. Meruntuhkan kubah / bangunan di atas perkuburan Siti Khadijah di Mualla, makam Saidina Hamzah di Uhud dan lain-lain sahabat di Baqi pada tahun 1803-1924 kerana hadith nabi melarang membuat binaan di atas perkuburan. [1]
  2. Meruntuhkan kubah / bangunan tempat maulud Nabi di Suqal-Lail di Mekah. Suqal Lail ialah tempat lahir Nabi.Wahabi berpandangan semua itu syirik dan membawa kepada penyembaahan berhala.
  3. Melarang orang ziarah makam Nabi dan berdoa meghadap situ, kerana berpendapat semua doa hanya semata-mata kepada Allah.[2]
  4. Melarang mengadakan perayaan pada hari Maulidur Rasul dan Hari Israk Mikraj. Semua ini dianggap puak wahabi sebagai bidaah dan perlu dihapus kerana tidak pernah diamalkan oleh nabi sendiri.
  5. Melarang melagu-lagukan azan sebagaimana dalam hadith [3], terutama menggunakan radio dan pembesar suara.
  6. Melarang membaca qasidah.
  7. Melarang melagu-lagukan al Quran.
  8. Melarang membaca Selawat Nabi, memuji-muji Nabi seperti Burdah dan Berzanji. Semua ini dianggap puak wahabi sebagai bidaah dan perlu dihapus kerana tidak pernah diamalkan oleh nabi sendiri.
  9. Melarang mengaji Sifat 20 seperti yang tertulis dalam kitab Kifayatul Awam , Matan Jauharah as-Sanusi dan sebagainya. Pada Wahabi, tauhid hanya berkisar pada Tauhid Rabbubiyah dan Tauhid Uluhiyah sahaja.[4] Semua ini dianggap puak wahabi sebagai bidaah dan perlu dihapus kerana tidak pernah diamalkan oleh nabi sendiri.
Siradjudin Abbas menulis susur galur fahaman Wahabi dalam buku '40 Masalah Ugama' . Beliau adalah kiyai, abuya , ulama besar di Indonesia. Konsep-konsep Moden Fahaman Wahabi yang dibawa oleh Muhammad 'Abdul wahab adalah seperti berikut :
  1. Dalam mempelajari ilmu Usuluddin (Tauhid) harus menganut fahaman Ibnu Taimiyah.
  2. Di dalam Fiqh diharuskan menampal-nampal Mazhab (Talfiq).
  3. Mengambil sumber Al-Quran dan Hadis yang kuat sahaja tanpa Ijma Ulama dan Qias.
  4. Melarang keras umat Islam berdoa dengan Tawassul (Perantaraan).
  5. Melarang menziarahi kubur, walaupun maqam Nabi. Ulama Wahabi membenarkan orang yang mengerja pergi ke Masjid Nabi di Madinah dengan niat menziarahi Masjid, bukan menziarahi maqam.
  6. Menghancurkan tugu-tugu peringatan / monumen kerana hal ini semuanya menjadikan orang musyrik. Bangunan besar yang dibangunkan di atas tempat Nabi di Suq al Leil telah lama diruntuhkan.
  7. Melarang membaca-baca Qasidah yang memuji-muji Nabi seperti Qasidah, Berzanji, Burdah, Kenduri-Kendara,Tahlil dan sebagainya.
  8. Melarangkan umat Islam merayakan dan memperingati Maulidur Rasul, Israk Mikraj dan semua perayaan hari kebesaran Islam yang lain, kecuali Hari Raya Aidilfitri dan Hari Raya Aidil Adha.
  9. Melarang belajar tentang "Sifat dua puluh", "Kifayatul Awam", "Sanusi", "Juaharatut Tauhid", "Husun Hamadiyah" dan lain-lain yang serupa itu.
  10. Fahaman Asy'ari, iaitu fahaman kaum Ahlul Sunnah Wal Jamaah hendaklah dibuang jauh-jauh.
  11. Tidak boleh membaca kitab "Dalailul Khairat", "Burdah" dan lain-lain wirid-wirid yang memuji-muji Nabi s.a.w
  12. Tidak boleh melagukan lafaz Quran, umpamanya dengan lagu Fuqara, Masri dan lain-lain. Quran harus dibaca lurus saja.
  13. Azan tidak boleh berlagu.
  14. Membaca zikir "La illa ha illallah" beramai-ramai dilarang sama sekali.
  15. Imam tidak membaca "Bismillah" dalam Solat.
  16. Amal-amal Tariqat, umpamanya Tariqat Naqsyabandi, Tariqat Qadiri, Tariqat Sazali, Tariqat Saman dan lain-lain dilarang keras.
  17. Wirid, berdoa secara beramai-ramai selepas solat berjemaah dilarang keras. Ini kerana mereka berpendapat ia adalah amalan peribadi. [5]

[sunting] Fahaman Wahabi di Malaysia

Majlis Fatwa Kebangsaan di Malaysia tidak pernah mengeluarkan fatwa bahawa Wahabi sebagai ajaran sesat atau fahaman sesat .Ia adalah khilafiah (pertikaian) di mana timbul persoalan mengenai takwil (tafsiran).
Jemaah haji Malaysia yang mengerjakan haji di kota Mekah tidak pernah mempertikaikan amalan tidak membaca qunut oleh imam di kaabah. Jemaah Islam juga akur dengan arahan tidak menziarahi makam-makam tertentu malahan makam nabi Muhammad di Madinah. Mereka akur dengan perbezaan tersebut kerana telah dimaklumkan semasa kursus haji yang diberikan oleh pegawai dari Tabung Haji.
Pada 8 Mei 2008 di persidangan Dewan Rakyat Menteri di Jabatan Perdana Menteri, Datuk Dr Ahmad Zahid Hamidi memberi penjelasan pendirian kerajaan Malaysia berhubung soalan dari peguam Zulkifli Noordin (PKR - Kulim Bandar Baru).
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) mengenalpasti pendakwah antaranya Dr Abdullah Yasin dan sebagai penganut Wahabi yang jelas. Mungkin itulah sebabnya tidak lagi muncul dalam program dan ceramah agama di televisyen. Mufti Perlis, Dr Mohd Asri Zainul Abidin tidak pula dilabel sebagai wahabi walaupun khabar angin menyatakan beliau seorang wahabi. Negeri Perlis yang tidak mengamalkan bacaan qunut juga dilabel sedemikian.
Majlis Fatwa Kebangsaan telah mengadakan sekurang-kurangnya 6 kali muzakarah atau perbincangan dengan pelbagai pihak sejak 1985 hingga 1998. Pertikaian terbaru dengan Mufti Perlis, Dr Mohd Asri Zainul Abidin pada 30 Ogos 2007 iaitu seorang yang dikatakan pengamal wahabi juga.
Kebanyakan lulusan universiti dari Madinah mengiktiraf ajaran Wahabi ini. Majlis Fatwa Kebangsaan tidak pernah menganggap Wahabi sebagai ajaran sesat. Muzakarah kali ke-40 pada 1996 menyebut bahawa mana-mana golongan yang mengisytiharkan diri mereka tidak bermazhab dan menganggap bahawa dialah orang yang lebih baik di samping mencerca dan menghina golongan yang bermazhab sedangkan mereka berada dalam kelompok yang sama, pendekatan dengan cara perbincangan adalah lebih baik. [6]





Tidak ada komentar:

Posting Komentar